10.19.2014

Teknologi Informasi Hijau, Peran Netizen dalam menyelamatkan Bumi dari Emisi



Ubah perilaku ber gadget/UNEP
Dalam bebera dekade terakhir, kita makhluk bumi semakin familiar dengan apa yang disebut sebagai efek gas rumah kaca, suatu kondisi kenaikan suhu bumi akibat emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida. Emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global terkait langsung dengan seluruh aktivitas yang kita lakukan sehari hari. Porsi terbesar emisi gas rumah kaca dihasilkan dari sektor hutan - penggunaan lahan - alih fungsi lahan (LULUCF), sektor energi dan sektor transportasi. Dampak pemanasan yang semakin dirasakan mendorong kita untuk merubah perilaku menuju keseimbangan emisi gas rumah kaca. Perubahan ini dimulai dari individu, komunitas, pemerintah setempat sampai dengan kebijakan nasional. Perubahan iklim yang terjadi memaksa kita melakukan adaptasi dan mitigasi demi keberlanjutan hidup ras manusia di muka bumi.
Komputer dan berbagai instalasi teknologi informasi merupakan pengguna energi yang nyata. Suatu studi dari “The Wupertal Institute for Climate, Environment and Climate “ menyatakan bahwa pembuatan satu buah PC (personal computer) membutuhkan energi listrik sebesar 3.000 kWh, jumlah energi listrik yang cukup untuk sebuah keluarga selama satu tahun. Selain energi, dalam prosesnya juga membutuhkan 1,5 ton beragam bahan baku.
Selain dalam pembuatannya, komputer yang terhubung dalam jaringan atau dikenal sebagai server/pusat data menggunakan jumlah energi listrik yang sangat masif. Kebutuhan energi suatu pusat data semisal yang dimiliki Google atau Yahoo bisa mencapai beberapa megawat dimana jumlah yang sama dapat menerangi ribuan rumah tangga. Porsi terbesar energi tersebut digunakan dalam proses pengaturan udara ruangan dalam sistem yang berjalan selama 24 jam.
Industri informasi teknologi telah menyadari perlunya tindakan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang dilain pihak memunculkan kesempatan dan jenis bisnis baru. Kesadaran ini telah direspon dengan berkembangnya produk piranti keras dan lunak yang lebih efisien sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Perkembangan style baru dalam teknologi informasi ini selanjutnya dikenal sebagai “Green Computing” atau “ Teknologi Informasi Hijau”.
Dalam TI Hijau, gaya dalam menyelesaikan pekerjaan dan urusan dengan komputer dapat kita ubah sehingga mengurangi terjadinya dampak dan lebih ramah terhadap lingkungan. Beberapa hal yang bisa kita lakukan antara lain :

  • Mematikan semua CPU beserta semua peralatan pendukungnya manakala tidak digunakan; 
  • Mematikan dan menghidupkan peralatan yang mengkonsumsi energi secara intensif hanya ketika diperlukan , seperti misalnya printer laser. 
  •  Memilih produk monitor yang lebih hemat energi, layar LCD (liqiud cristal display) jauh lebih hemat daripada layar tabung/CRT (cathode ray tube); 
  •  Ketika memungkinkan, bekerjalah dengan notebook/laptop daripada komputer desktop; 
  • Gunakan fitur pengelolaan daya yang memungkinkan hardisk dan tampilan dalam posisi off manakala tidak ada aktifitas dalam beberapa menit; 
  • Memilih produk yang berkualitas yang terbukti lebih tahan lama sehingga mengurangi konsumsi energi dalam proses daur ulangnya; 
  • Mengurangi penggunaan kertas, memakai kertas dua sisi secara bijak; 
  •  Menggunakan sumber energi alternatif yang disimpan dalam baterai untuk mensuplai catu komputer kantor, server, jaringan maupun pusat data merupakan satu hala yang bagus. 
  • Menggunakan gadget menurut peruntukan adalah jalan terbaik, selain hemat energi piranti juga bakal dijamin awet, misal komputer hanya untuk mengetik, berkomunikasi dengan hape, mendengarkan musik dengan perangkat audio, main game hanya dengan PS/konsol/gamebox, menonton dengan Home Theatre dan sejenisnya . . . idealnya sih!
Wayooo …. mulailah dengan diri kita
Kick the Habits, UNEP, 2008

Pengendalian Pencemaran Air melalui Penetapan Baku Mutu Air Limbah

ilustrasi sumber air/privat
Dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air, Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan berwenang menetapkan baku mutu air limbah untuk berbagai jenis usaha dan atau kegiatan di asing masing daerah. Selanjutnya diatur bahwa baku mutu daerah tersebut ditetapkan dengan ketentuan lebih ketat atau sama dengan BMAL yang berlaku secara nasional. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 21 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 
Penetapan baku mutu air limbah (BMAL) dari berbagai jenis usaha dan atau kegiatan yang potensial menjadi sumber pencemaran air merupakan salah satu langkah untuk membatasi beban pencemaran air. Penetapan BMAL dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait kondisi sumber air penerima, ketersediaan teknologi proses produksi dan teknologi pengelolaan air limbah sesuai dengan karakteristiknya. Dari beragam aspek initerlihat bahwa baku mutu air limbah terkait langsung dengan konsep konsep beban pencemaran (pollution load) yang mempertimbangkan daya tampung lingkungan.
Di Indonesia, konsep beban pencemaran pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991. Konsep ini menggantikan konsep pendahulunya yang lebih sederhana. Dalam tataran pengendalian pencemaran air, konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep sebelumnya yang hanya memperhitungkan kadar dari suatu polutan yang akan dibuang ke lingkungan. Penggunaan konsep kadar memungkinkan penanggungjawab usaha menggunakan air secara berlebihan agar dapat memenuhi kadar yang disyaratkan.
Dalam penerapan konsep beban pencemaran yang mempertimbangkan daya tampung, pengendalian pencemaran dilakukan dengan mengendalikan kadar dan volume limbah yang akan dibuang secara simultan.  Penetapan konsep beban pencemaran ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan daya tampung obyek sumber air penerima. Melalui penetapan ini akan dapat diperoleh nilai beban tertentu dari suatu parameter yang masih dapat ditampung oleh obyek sumber air penerima tanpa menyebabkan sumber air tersebut menjadi cemar.
Adaptasi dari Kemenlh RI

Logam Berat dalam Budidaya Tanaman Pangan Perkotaan



illustrasi kebun urban/doc privat
Kegiatan berkebun di wilayah urban/perkotaan menghadapai tantangan yang beragam, sangat spesifik dan berbeda dengan kegiatan serupa yang dilaksanakan di kawasan rural/pedesaan. Selain ketersediaan lahan, sumber air yang terbatas, budidaya pertanian urban menghadapi tantangan terkait potensi kontaminasi logam berat dari lahan yang digunakan. Beragam logam berat seperti timbal, kadmium, nikel dan tembaga yang berasal dari sisa kegiatan urban seperti cat, gas atau minyak, sisa pembakaran sampah, pipa dan baterai diketahui mempunyai efek karsinogen yang berbahaya terhadap kesehatan. Logam berat tersebut dapat masuk kesistem  metabolisme tubuh melaui udara yang kita hirup, kemudian pada anak anak dapat terjadi melaui tangan yang bersentuhan dengan mulut atau hidung. Secara tidak langsung, logam berat dapat masuk ke jaringan tubuh melalui produk makanan yang kita konsumsi.

Berkaca pada berbagai kendala tersebut sangat penting untuk mengetahui kondisi lahan dengan melakukan tes tanah, atau paling tidak mengetahui sejarah penggunaan lahan urban tersebut. Berkebun dengan pengelolaan terstandar yang ketat merupakan strategi untuk mengurangi bahaya yang mungkin terjadi. Penggunaan sarung tangan, boot, masker dan cuci tangan rutin dengan sabun merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan. Pada taraf tertentu, pembatasan akses lahan oleh anak anak mungkin merupakan langkah yang bisa ditempuh apabila kondisi lahan memang riskan dan berbahaya.

Beberapa strategi dapat dilakukan sebagai antisipasi terhadap lahan urban marginal yang kita miliki. Semua dilakukan untuk memimimalisir kemungkinan negatif dari kontaminasi logam berat dan polutan lahan kita. Beberapa langkah tersebut antara lain : 
  1. Meningkatkan kestabilan tanah dengan mengistirahatkan tanah (jawa=bera) dari tanaman pangan, mengurangi erosi debu oleh angin dengan tanaman penutup lahan, menghindari kontaminasi tanah ke manusia dan hewan piaraan. 
  2. Memilih tanaman buah dan sayuran buah (ex. mentimun, terong, kacang panjang) daripada sayuran daun (bayam, sawi) dan umbi umbian (ubi kayu, kacang tanah) dimana tanaman yang disebut terakhir menyerap logam berat hampir 10 kali lebih banyak dari pada tanaman buah. 
  3.  Memilih menanam beragam tanaman hias untuk alasan keindahan, peneduh dan lanscape daripada menanam tanaman pangan. 
  4.  Menambahkan lahan dengan kompos dan kapur/kalsium sehingga keasaman lahan akan berkurang sehingga mengurangi potensi absorbsi logam berat oleh tanaman. 
  5.  Aplikasi fitoremediasi, menanam tanaman yang mampu menyerap sejumlah besar logam berat dari lahan. Beberapa tanaman seperti bunga tanjung, puring/puding dan sansievera (lidah mertua) dikenal memiliki kemampuan tersebut. 
  6. Pembuatan guludan, bertanam dengan pot dan sistem tanam hidroponik juga mampu membatasi adsorpsi logam berat dari lahan yang terkontaminasi.

Itu aja ...
referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010