Lima Puluh Kota merupakan salah satu kawasan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Dengan luas lahan berupa hutan mencapai 60% (sebanyak 43% berupa hutang lindung, 9% hutan produksi dan 8% hutan suaka alam wisata/HSAW), kawasan ini mendaur ulang karbondioksida yang dihasilkan warganya menjadi oksigen yang tidak hanya dibutuhkan warganya tapi juga sangat diperlukan warga Malaka maupun Singapura. Di sinilah rupanya paru-paru dunia itu ternyata berada.
Dengan kekayaan yang sedemikan besar baik hayati maupun non hayati yang ada di perut bumi, hutan sumatera di Lima Puluh Kota menghadapi tekanan degradasi yang bertubi-tubi. Kandungan bahan tambang seperti emas, batubara, mangan, timah hitam, bijih besi yang sebagian besar berada di kawasan hutan telah menarik minat banyak pemodal untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Selain itu ditunjang dengan alam yang subur dan harga komoditas perkebunan yang semakin kompetitif, konversi hutan menjadi kawasan perkebunan seperti gambir, karet, sawit, kakao dan sejenisnya menjadi sesuatu yang sangat menggiurkan. Tak ubahnya kucing yang lama tak sua dengan ikan asin.
Gambaran tersebut nyata terlihat dalam peninjauan lapangan yang dilakukan Bidang Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Alam BLHKP kabupaten Lima Puluh Kota baru-baru ini. Inspeksi ini dimulai dari kawasan konservasi seputar bandar irigasi Kapalo Banda Taram. Kawasan yang pernah sohor sebagai tempat wisata anak muda namun belakangan dinyatakan tertutup untuk umum tersebut terlihat tidak terawat dan terbengkalai. Hebatnya lagi, deru suara Chain Shaw meraung-raung di celah-celah bukit diiringi kepul asap hasil pembakaran lahan yang jelas-jelas kawasan konservasi. Beberapa pohon nampak meranggas setelah terbakar, jelas sekali terlihat degradasi hutan pada kawasan ini.
Hutan yang rusak mempunyai konsekuensi pada terbatasnya area tangkapan air hujan. Penjarahan hutan menyebabkan hutan kehilangan kemampuannya untuk menyimpan air. Tidaklah mengherankan apabila kemudian terjadi anomali pada debit bandar irigasi Kapalo Banda Taram. Di musim hujan banjir mengintai seluruh warga yang berada di sekitar daerah aliran sungai. Hal yang kontras terjadi manakala jatuh musim kemarau, air menjadi sangat terbatas. Lebih banyak batu yang berada di sungai daripada air.
Kondisi ini hanya secuil dari pelik dan rumitnya mempertahankan eksistensi hutan sumatera di Lima Puluh Kota. Ekplorasi dan eksploitasi pada muka bumi dan perut bumi ternyata telah mencederai paru-paru bumi itu sendiri. Masih mungkinkah bumi bertahan hanya dengan satu paru-parunya? Apabila hal ini terus terjadi mungkin inilah akhir cerita hutan Sumatera di Lima Puluh Kota.
maszoom@limapuluhkota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar