Umat manusia mengahadapi tantangan
yang mungkin tidak pernah diperkirakan oleh generasi sebelumnya. Ada pemahaman
umum bahwa ekosistem bumi tidak akan lagi mampu untuk menjaga aktivitas ekonomi
dan konsumsi material pada tingkat pemanfaatan seperti sekarang ini. Pada waktu
yang bersamaan, aktivitas ekonomi secara global sebagaimana diukur oleh Produk
Global Kotor (GWP), tumbuh sekitar empat persen pertahun, yang berkorelasi
dengan peningkatan dalam ukuran waktu selama 18 tahun. Salah satu faktor yang
mendorong perkembangan ini adalah adanya ledakan pertumbuhan populasi dunia. Pada
tahun 1950, hanya terdapat 2,5 milyar manusia di muka bumi, jumlah tersebut
berlipat menjadi hampir 6 milyar pada akhir milenium, dan diperkirakan akan
semakin berlipat menjadi sekitar 10 milyar pada pertengahan abad ini. Secara
signifikan peningkatan konsumsi energi dan material perkapita berpengaruh
terhadap sitem ekologis, melebihi kecepatan pertumbuhan populasi masyarakat
bumi itu sendiri. Suatu kondisi ekonomi yang tidak dapat balik (irreverseible) sepertinya adalah sebuah
keniscayaan manakala menghadapi dan berbenturan dengan keterbatasan ekosfere.
Pendekatan konvensional dalam pembangunan telah secara sukses berhasil
mengembangkan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai agenda terdepan bagi
hampir semua negara di dunia. Tujuan jangka panjang pembangunan ekonomi ini adalah
untuk mengintegrasikan sistem ekonomi lokal dan nasional kedalam sistem ekonomi
global, dalam sebuah perdagangan dan aliran modal yang tanpa batas. Hal ini
pada dasarnya mendorong produksi industri, dan sepertinya akan mendorong lebih
jauh kepada peningkatan konsumsi sumber daya alam. Akan tetapi, adanya
ketebatasan dari model pembangunan ekonomi konvensional tersebut lambat laun
akan semakin kelihatan jelas. Sebagai contoh, peningkatan produksi ekonomi hanya akan meningkatakan jurang perbedaan pendapatan,
membuat si kaya menjadi lebih bahagia, pada saat yang sama tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan dasar bagi si miskin yang mencapai jumlah lebih dari 1 milyar jiwa. Manakala
20 persen populasi dunia menikmati gaya hidup yang sangat berkecukupan, dilain
pihak 20 persen populasi dunia yang lain berada dalam kondisi kemiskinan mutlak
(absolute poverty). Pada kenyataannya
20 persen dari kelompok paling kaya- dengan pendapatan tertinggi, mempunyai
pendapatan hampir 60 kali lebih banyak dari 20 persen kelompok paling miskin (GNI rasio, ingat). Hal yang lebih menyedihkan, gap ini telah berlipat
dalam jangka waktu 30 tahun terakhir. Pembangunan ekonomi konvensional telah
menghadapi tantangan untuk meningkatkan aspek kesetaran (equity), semenjak konsep ini diperkenalkan petama kali dalam Persetujuan
Bretton Woods (Breeton Woods Agreement),
beberapa waktu setelah perang dunia kedua.
Hari ini, menghadapi tekanan
ekologis yang semakin meningkat, pendapat kritis menjadi semakin kentara dan
bermunculan. Tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan timbulan pencemaran yang
mengikuti, pada saat ini bergerak lebih cepat dibandinkan dengan kemampuan alam
untuk meregenerasi. Perhitungan ahli biologi pada tahun 1986 mengindikasikan
bahwa manusia telah menggunakan 40 persen produk hasil fotosisntesis di
daratan, dengan kata lain manusia telah memanfaatkan 40 persen kemampuan alam
dari produksi hayati berbasis lahan. Studi lebih lanjut mengindikasikan, hal
yang sama terjadi pada pemanfaatan landas benua (lautan). Jika pemanfaatan
berbagai fungsi alam juga diperhitungkan, seperti penyerapan pencemar oleh air
dan tanah, perlindungan dari radiasi ultraviolet yang berbahaya, tidaklah sulit
untuk membayangkan bahwa aktivitas umat manusia telah berada pada batas yang melebihi
kapasitas bumi dalam jangka panjang.
Percepatan konsumsi sumber daya
alam yang menjadi peendukung utama pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan
standar secara materi dari berbagai negara didunia dalam beberapa dekade
terakhir, pada saat yang sama mendegradasi hutan, tanah, air, udara, dan
keanekaan hayati planet bumi. Manakala bumi menjadi kelebihan muatan secara
ekologis, pembangunan ekonomi secara konvensional sebenarnya adalah sebuah
langkah bunuh diri (self-destructive)
dan pemelaratan (impoverishing).
Banyak akademisi percaya bahwa melanjutkan jejak langkah sejarah ini hanya akan
membawa penyintasan (survival) umat
manusia di muka bumi berada dalam bahaya. Menjadi pasti kemudian, diperlukan langkah kecil untuk mengininisiasi aspek keberlanjutan, yang
akan secara efektif memutar arah orientasi ekologis secara global. Tentunya,
tekanan terhadap integritas ekologis dan kesehatan secara sosial harus menjadi
tujuan utama. Dibutuhkan inisiasi keberlanjutan yang efektif, termasuk
didalamnya perangkat yang memungkinkan keterlibatan sektor publik secara luas,
evaluasi strategi dan pengawasan terhadap kemajuan yang telah diperoleh. Dalam
hal ini, salah satu perangkat yang dapat menterjemahkan perhatian terhadap aspek
keberlanjutan kepada langkah nyata bagi publik adalah sebuah metode yang
dikenal sebagai analisis “jejak ekologis”. (continued)
Reference
: Wackernagel & Rees. 1996. Our Ecological
Footprint, Reducing Human Impact on the Earth. New Society Publisher. Canada
www.maszoom.blogspot.com