Salah satu bentuk ketagihan dalam lingkungan sosial kita yang sangat berbahaya adalah kebiasaan dalam menghasilkan gas rumah kaca (GRK). Konsumsi batubara dan minyak bumi telah menjadi suatu jalan bebas hambatan yang menggerakkan pembangunan dunia menuju era industrialisasi.
Baik negara maju dan negara berkembang mempunyai tujuan yang identik dalam meningkatkan standar hidup warganya. Hal ini berimbas langsung terhadap tingginya tekanan terhadap lingkungan. Meski demikian, di negara dunia ketiga, dengan lebih sedikit energi terbarukan, salah satumya kayu bakar masih menjadi pilihan utama rakyat miskin.
Ketergantungan yang sangat besar dalam pemanfaatan energi karbon telah menjadi penyebab yang sangat nyata terhadap peningkatan drastis konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Kita tahu bahwa perubahan iklim global sedang terjadi, karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya telah ditetapkan sebagai tersangka utama.
Yang kemudian tidak kita sadari adalah bahwa emisi karbon tidak hanya terjadi dalam bentuk pembakaran energi fosil. Sepanjang daerah tropis, hutan yang berharga ditebang demi kayu dan pembuatan kertas, perluasan lahan pertanian dan komoditas perkebunan. Lebih tragis lagi, hutan yang berharga dibabat habis demi produksi bahan bakar nabati yang konon terbarukan.
Hutan yang gundul berkontribusi terhadap
efek rumah kaca tidak hanya melalui pelepasan karbon dioksida dari praktik
pembakaran biomass tetapi juga dari hilangnya potensi absorbsi CO2 dari
atmosfer melalui mekanisme fotosintesis. Kerugian ganda akibat kerusakan hutan
ini lebih jauh memperparah terjadinya perubahan iklim global.
Hutan sudah seharusnya disadari telah berperan sebagai aktor utama panggung sandiwara dunia dengan lakon perubahan iklim global yang melibatkan seluruh penduduk dunia, mulai dari putihnya salju Himalaya sampai dengan birunya laut di Maladewa.
Contents adapted from The United Nations
Tidak ada komentar:
Posting Komentar