|
Sungai Citarum Hulu di Kareumbi Masigit |
SUB
DAS Citarik merupakan salah satu anak Sungai Citarum - sungai terpanjang dan
terpenting di Jawa Barat. SUB DAS Citarik berhulu di Kawasan Konservasi Hutan
Buru Kareumbu Masigit Kabupaten Sumadeng untuk kemudian bermuara ke Sungai
Citarum di Kabupaten Bandung. Sungai Citarum yang merupakan salah satu sungai
strategis nasional yang mendukung pergerakan ekonomi nasional. Dalam sistem
Daerah Aliran Sungai Citarum Terdapat tiga bendungan besar (Waduk Saguling,
Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur) yang berperan penting dalam menyediakan
sumber tenaga listrik dalam sistem interkoneksi Jawa- Bali. Selain itu, Daerah
Aliran Sungai Citarum juga merupakan penyumbang sebagian besar kebutuhan air
baku air minum bagi penduduk Jakarta.
Dengan
perannya yang sangat besar, Daerah Aliran Sungai Citarum terbagi kedalam tiga zona pengelolaan yaitu :
zona hulu, zona tengah dan zona hilir. Zona hulu citarum merupakan daerah
tangkapan air yang menjadi sumber air bagi tiga waduk besar yang ada di zona
tengah (Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk Jatiluhur). Kawasan hulu daerah
aliran Sungai Citarum (dengan SUB DAS Citarik termasuk didalmnya) dicirikan
dengan kegiatan dominan berupa konservasi air dan tanah seperti perlindungan
hutan, terasering pertanian, dan sistem budidaya sesuai kontur lahan. Daerah
hulu SUB DAS Citarik memiliki kerapatan sungai (panjang sungai per luas area)
yang tinggi dengan didukung keberadaan mata air yang mengalir sepanjang tahun.
Kawasan hulu ini merupakan lahan dengan kemiringan yang relatif tajam (lebih
dari 15%, dalam batas tertentu lebih besar dari 25%). Kawasan ini cenderung
terbebas dari banjir, dengan pola penggunaan sumber air ditentukan oleh sistem
drainase/saluran secara alami, misalnya sungai atau anak sungai. secara
sosio-kultural, ciri masyarakat pada daerah hulu daerah aliran sungai adalah
petani (agraris), dengan pendapatan dari beragam produk budidaya pertanian
dikombinasikan dengan tanaman keras/tanaman hutan.
Zona
tengah Daerah Aliran Sungai Citarum merupakan zona pemanfaatan, dimaana
didalamnya terdapat tiga bendungan besar (Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk
Jatiluhur). Ketiga waduk ini mempunyai fungsi utama sebagai penghasil energi
listrik bagi kebutuhan listrik sistem interkoneksi Jawa-Bali. Selain itu waduk
tersebut juga mempunyai fungsi pendukung lainnya seperti kegiatan pariwisata,
perikanan (keramba jaring apung), transportsi, sumber air irigasi dan sumber
air baku air minum. Beberapa permasalahan mengemuka di zona tengah (waduk)
seperti : tingginya laju sedimentasi akibat erosi dan alih fungsi lahan yang
tidak terkendali di zona hulu; pencemaran dari kegiatan industri dan domestik;
dan maraknya budidaya perikanan keramba jaring apung. Tekanan tersebut
mengakibatkan umur ekonomis pemanfaatan waduk menjadi berkurang dari estimasi
awal pada saat pembangunan.
Berbeda
dengan zona hulu dan zona tengah, zona (kawasan) hilir Sungai Ciatarum merupakan
area yang sebagian besar tidak digunakan sebagai konservasi air dan tanah,
meliankan merupakan kawasan budidaya seperti misalnya kawasan pertanian (padi)
ataupun kawasan industri. Bagian hilir daerah aliran Sungai Citarum merupakan
kawasan dengan kerapatan sungai yang kecil, dengan sebagian besar merupakan
sungai besar yang mengalir ke laut. Lahan pada bagian hilir daerah aliran
sungai merupakan kawasan dengan kemiringan landai sampai data (kurang dari 15%,
sebagian besar kurang dari 8%). Berkaitan dengan topografi lahan tersebut,
bagian hilir daerah aliran sungai merupakan kawasan rawan banjir. Pola
penggunaan lahan kawasan ini terutama adalah melalui sistem irigasi yang
digunakan untuk pertanian dengan sebagian besar vegetasi yang ada adalah tanaman
budidya dengan pengecualian pada daerah muara yang didominasi mangrove atau
gambut.
Secara
sosio-kultural, ciri ciri masyarakat hilir sungai merupakan masyarakat pekerja,
petani daratan rendah, nelayan, dan produk pertanian monokultur misalnya padi
atau produk lain. Zona hilir Sungai Citarum merupakan area pertanian yang
mencakup area irigasi teknis seluas 300 ribu hektar yang meliputi Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupten Indramayu. Zona
citarum Hilir juga menjadi sumber air bagi 80% kebutuhan air baku jakarta.
Secara umum lebih dari 25 juta penduduk di Propinsi Jawa Barat dan Ibukota
Jakarta menggantungakan hidup kepada Sungai Citarum.
Terdapat
keterkaitan yang erat antara ketiga zona pengelolaan tersebut sebagai satu kesatuan
daerah aliran sungai. Kondisi pada kawasan hulu seperti luasan daerah tangkapan
air, topografi daerah tangkapan air, tata guna lahan, tutupan lahan, debit
sungai, curah hujan, dan kandungan lumpur sungai sebagai hasil erosi menentukan
kualitas dan kuantitas senyawa kontaminan dan sedimen yang terangkut ke kawasan
pemanfaatan (zona tengah dan zona hilir). Keadaan ini mememerlukan penanganan
secara terintegrasi antar para pemangku kepentingan terutama menyangkut tata
guna lahan dan agroekosistem. Hasil pemantauan pada sistem DAS Citarum
menunjukan bahwa kualitas air sudah mengalami penurunan sebelum air sungai
(inlet) mencapai zona tengah (Waduk Saguling). Air sungai yang berasal dari
inlet tersebut selain bersifat korosif juga membawa bahan organik terlarut yang
sangat tinggi pemacu penyuburan waduk dan menimbulkan perkembangan tak
terkendali gulma/tanaman air (eceng gondok, ganggang). Lebih lanjut eutrofikasi
waduk memicu turunnya kosentrasi oksigen di perairan, memicu proses anaerob
yang lebih banyak menghasilkan H2S pemicu korosi peralatan
pembangkit listrik.
Demi menciptakan keseimbangan
pembangunan antar berbagai sektor dan kawasan, menjadi sangat penting untuk
memperhatikan berbagai hal menyangkut hubungan hulu-hilir daerah aliran sungai.
Kecenderungan yang ada saat ini, penyusunan kebijakan terkadang melupakan aspek
penting tersebut. Kebutuhan akan kebijakan yang terintegrsi ini tidak hanya
menyangkut masyaakat dan kepentingan berbagai segmen dalam daerah aliran
sungai, tetapi juga menyangkut aspek pembangunan regional, secara umum adalah
implikasi ekologis dari penggunaan sumber daya air di berbagai segmen daerah
tangkapan air. Tinjauan diatas menunujukan arti penting interaksi hulu-hilir
dalam pengelolaan daerah aliran sungai melalui cara pandang yang lebih luas.
Beberapa hal seperti perlindungan jasa ekosistem, pembangunan kawasan dan
pengelolaan kawasan pantai dan pesisir menjadi sangat penting. Dua hal mendasar
dalam pengelolaan daerah aliran sungai secara berkelanjutan adalah sampai
sejauh mana hubungan antara hulu dan hilir turut dipertimbangkan dalam struktur
pengelolaan dan mekanisme seperti apa yang mampu mengakomodasi berbagai
kepentingan dalam berbagai segmen daerah aliran sungai.
Pengelolaan daerah aliran sungai harus
mampu Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam pada daerah aliran sungai
secara berkelanjutan (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Pengelolaan daerah
aliran sungai sudah seharusnya menjamin kuantitas dan kualitas air sepanjang
tahun melalui pengendalian air permukaan dan banjir (stabilitas tata air) dan
pengendalian erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya (stabilitas tanah).
Selain itu pengelolaan daerah aliran sungai yang baik ditandai dengan tercapainya
kesimbangan ekologis sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengembangan
kelembagaan untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
dalam pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS.