mana yang lebih ramah lingkungan? (net) |
Pola konsumsi manusia berperan
besar terhadap emisi gas rumah kaca. Bersama dengan sektor energi, transportasi
dan penggunaan lahan, sektor konsumsi merupakan penyumbang terbesar emisi gas
rumah kaca. Dalam pola konsumsi tersebut, berbagai faktor mempengaruhi banyak
sedikitnya jejak karbon suatu produk makanan. Dimulai dari proses produksi
agricultur (pupuk, pengolahan tanah, jenis tanaman), pengolahan pasca panen, pendinginan,
transportasi, pengepakan, retail, penyimpanan di rumah sampai dengan
dihidangkan di meja makan dan pembuangan sampah sisa makanan. Dalam hal ini
jenis dan macam makanan yang berbeda menghasilkan dampak emisi gas rumah kaca
yang berbeda.
Sebagai salah satu contoh, kentang
dan teh menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit dalam proses
budidayanya dibandingkan dalam proses pengolahan pasca panen dan konsumsi.
Memasak keripik kentang, memanaskan air untuk membuat teh selanjutnya
memerlukan energi yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Selain itu,
dalam rantai konsumsi daging, buah dan sayuran segar, komoditi yang melalui
tahap proses pengawetan dengan pendinginan/ pembekuan mempunyai dampak
pemanasan global yang paling besar.
Berkaca dari permasalahan
tersebut, diperlukan langkah bijak mengantisipasi emisi gas rumah kaca dari
sektor konsumsi. Untuk itu beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain :
1. Memilih makanan dengan rantai distribusi
terpendek, semakin panjang rantai distribusi, semakin besar jejak karbon suatu
makanan.
2. Mengutamakan produk nabati, produk berbasis
bahan nabati memiliki jejak karbon relatif lebih kecil dibanding produk hewani.
3. Mengutamakan produk daging putih, produk
daging merah (sapi, kambing, kerbau) menghasilkan jejak karbon lebih besar
dibanding produk daging putih (ikan, ayam).
4. Memprioritaskan makanan lokal, produk makanan
lokal memiliki jejak karbon lebih kecil dibanding produk luar daerah/impor.
5. Mengurangi
konsumsi buah diluar musim, produk buah diluar musim menghasilkan emisi yang
lebih besar dibanding buah yang beredar pada saat musim buah.
Selain langkah
diatas, kegiatan menanam sendiri makanan kita merupakan salah satu langkah paling
bijak bijak dan cerdas menuju gaya hidup yang mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kita tahu bahwa sebagian besar produk makanan segar di pasaran telah menempuh
perjalanan yang sangat jauh (bisa lebih dari 1.500 mil dalam ruangan
berpendingin) untuk sekedar sampai ke meja makan. Sebagai contoh banyak jenis
buah yang kita konsumsi berasal dari daratan Cina, Thailand, AS ataupun
Australia.
Dengan menanam
sendiri makanan kita di kebun belakang rumah dan halaman, kita menghilangkan
faktor transportasi dan pedinginan yang mengkonsumsi energi dari pembakaran
fosil yang tidak sedikit. Penggunaan energi beserta transportasi merupakan
sektor penyumbang tebesar emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global pada dasarnya adalah terjadinya gangguan pada
kesetimbangan daur karbon akibat berbagai aktivitas manusia. Ketika kita
membakar minyak bumi, gas alam atau batubara, sejumlah besar rantai karbon
prasejarah (fossil fuel) yang sudah
tersimpan dibawah tanah selama jutaan tahun terbebaskan kembali ke atmosfer
dalam bentuk karbon dioksida. Alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk
menyelamatkan kesetimbangan daur karbon tersebut adalah dengan mengunci atom
karbon tersebut kembali dalam tanah, melalui tanaman yang kita tanam.
Selain mendapatkan
makanan yang lebih segar, dipetik langsung dari tanaman, menanam sendiri
makanan kita juga dalam taraf tertentu merupakan langkah menghemat uang. Selain
itu mengkonsumsi makanan dari tanaman yang kita tanam sendiri merupakan suatu passion dan culminasi kepuasan
tersendiri manakala kita mampu menghadirkan makanan yang kita amati tidak hanya
mulai dari tanaman di tanam, tumbuh, berbunga, buah muda, sampai buah masak.
Dari sebuah sumber
menyebutkan, dengan ukuran 6x9 atau sekitar 54 meter persegi, lahan yang
ditanami sayuran mampu menghasilkan sekitar 150 kg produk per musim tanam.
Seumpama lahan tersebut ditanama terung, dengan harga saat ini Rp 12.000,-
(awal Juli 2014, payakumbuh), nilai nominal sebesar Rp 1.800.000,- adalah
jumlah yang tidak sedikit. Menggabungkan tanaman buah dan sayuran di
halaman dan kebun, terbukti selain mendapatkan keuntungan dari penampilan juga
ternyata menambah variasi menu yang kita konsumsi.
referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar