Sub DAS Citarum Hulu di Kereumbi Masigit |
Daerah aliran sungai (DAS) secara
terminologi merupakan suatu bentang lahan yang dibatasi oleh punggung bukit
pemisah aliran (topographic devide)
yang menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan melalui sungai dan bermuara
ke danau hingga ke laut sampai dengan daereh perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan. Demi memperoleh semua manfaat dari daerah aliran sungai maka
dilakukan pengelolaan daerah aliran sungai. Pengelolaan daerah aliran sungai
adalah upaya mengatur hubungan timbal balik antara seumber daya alam dengan
manusia di dalam DAS dan segalanya agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara
berkelanjutan. Manajemen daerah aliran sungai secara berkelanjutan sejatinya merupakan
pengelolaan segala manfaat yang diperoleh dari penanganan tanah, air dan sumber
daya alam lainnya dalam suatu daerah aliran sungai secara berkelanjutan dan
berkeadilan antara masyarakat hulu dan masyarakat hilir, dengan tanpa merusak
sumber daya alam dan lingkungan yang ada.
Pengelolaan daerah aliran sungai dapat
dipandang sebagai : i) sebuah proses yang melibatkan tahapan perencanaan,
implementasi dan monitoring-evaluasi secara terpisah namun sangat berkaitan
erat; ii) merupakan suatu perencanaan
sistem manajemen yang terukur dengan berbagai perangkat implementasi melalui
penerapan penyusunan kelembagaan dan organisasi; dan iii) merupakan seperangkat
aktivitas yang saling terkait dimana diperlukan tugas-tugas manajerial khusus.
Pengelolaan daerah aliran sungai dimulai dengan proses perumusan
persoalan-persoalan dan tujuan bersama pengelolaan sumber daya alam dalam
daerah aliran sungai. Diperlukan sinkronisasi rencana dan progam sektoral dalam
pengelolaan daerah aliran sungai untuk mencapai tujuan bersama dengan
mempertimbangkan aspek biofisik, sosial-ekonomi-budaya, politik dan kelembagaan
yang bekerja dalam wilayah tersebut. Perencanaan dan implementasi pengelolaan
daerah aliran sungai dilaksanakan berdasar kesepakatan bersama melalui
mekanisme partisipatif dan adaptif untuk seluruh pemangku kepentingan di
wilayah hulu dan hilir daerah aliran sungai.
Melihat secara kasat mata, sangat jelas
terlihat bahwa SUB DAS Citarik belum dikelolah dengan semestinya. Manajemen
pengelolaan SUB DAS Citarik yang tidak efektif berdampak pada buruknya kualitas
dan kondisi sungai tersebut. Tidak berjalannya manajemen pengelolaan ini dapat
terjadi karena serangkaian kesalahan yang terjadi dalam penentuan perencanaan,
pelaksanaan kebijakan dan evaluasi yang dibuat dalam pengelolaan lingkungan
Sungai Citarik. Indikasi lemahnya kebijakan dalam pengelolaan Sungai Citarik rendahnya
kualitas lingkungan sungai,
banjir, longsor tebing sungai, pencemaran limbah yang merajalela, erosi dan
sedimentasi yang tidak terkendali. Akibatnya masyarakat kehilangan manfaat yang
diberikan sungai baik secara ekonomi-sosial dan lingkungan.
Pada prisnsipnya manajemen pengelolaan
SUB DAS Citaik dan Sungai Citarum telah dibekali perangkat peraturan yang
lengkap muai dari peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, sampai
dengan peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya. Berbagai peraturan ini menjadi
payung hukum ini bagi pelaksanaan pengelolaan dalam berbagai segi dan bidang.
Berdasar hal ini maka, buruknya kualitas SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum
tidak disebabkan oleh suatu formulasi kebijakan yang buruk (bad policy).
Apabila formulasi kebijakan pengelolaan
SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum sudah dirasa cukup bagus dalam
mengantisipasi permasalahan yang ada, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa kondisi dan kualitasnya sedemikian buruk. Telunjuk jari bagi
permasalahan ini dapat diarahkan kepada bagaimana kebijakan yang diwujudkan
dalam seperangkat peraturan yang sudah lengkap tersebut dilaksanaan (implementation) di lapangan. Buruknya
implementasi kebijakan menyebabkan kualitas dan kondisi SUB DAS Citarik dan Sungai
Citarum secara umum sangat memprihatinkan. Hal ini terjadi karena :
1.
Komunikasi.
Faktor ini menyangkut bagaimana masing masing lembaga/ institusi yang mengatur SUB
DAS Citarik dan Sungai Citarum secara umum, berbagi peran demi efektifitas.
Kendala antar lembaga secara horisontal kadang terjadi (misal antara dinas
dalam dalam satu daerah misal pertanian dan pariwisata atau industri) yang
memunculkan ego sektoral dan politik kepentingan karena tidak adanya figur
sentral yang menjadi panutan.
2.
Sumberdaya.
Kualitas dan kuantitas sumber daya (manusia, sarana dan prasarana pendukung)
juga menjadi kendala. Tidak seimbangnya luasnya lingkup tugas, beban dan
tanggung jawab dengan sumber daya yang ada. Misalnya perbandingan jumlah
personel pengelola dengan luas wilayah yang tidak seimbang.
3.
Disposisi.
Permasalahan ini menyangkut sikap (attitude)
terhadap pelaksanaan kebijakan dilapangan. Rendahnya komitmen untuk
melaksanakan kebijakan dengan baik dari para pemangku kepentingan. Terkadang
pelaksanaan kebijakan dibumbui adanya suatu kepentingan baik pribadi atau
kelompok.
4.
Struktur
birokrasi. Bagaimana masing masing lembaga berkerja sama
sesuai dengan kewenangannya. Terkadang tidak adanya koordinasi menjadi kendala
baik antar lembaga secara vertikal maupun horisontal. Tumpang tindih
kewenangan, program dan kegiatan kadang terjadi.