Agrikultur tidak hanya menjadi
aktivitas mendasar manusia yang berada dalam resiko perubahan iklim, aktivitas ini
juga merupakan pendorong dari perubahan lingkungan dan perubahan iklim itu
sendiri. Sektor ini mempunyai dampak
yang sangat besar terhadap sumber daya air dan lahan. Secara global, 1,4 milyar
hektar lahan subur digunakan untuk budidaya pertanian dan 2,5 milyar hektar
lainnya digunakan untuk kegiatan peternakan. Selain itu, sekitar 4 milyar
hektar merupakan hutan dengan lima persen diantaranya merupakan hutan tanaman.
Dua milyar ton biji-bijian dihasilkan secara global pertahun yang diperuntukan
sebagai bahan pangan dan pakan, menyediakan dua pertiga total masukan protein
bagi seluruh umat manusia. Sekitar sepuluh persen total kebutuhan sereal dunia
dipenuhi melalui perdagangan secara internasional. Lebih lanjut, sekitar 150
juta ton ikan dan produk perairan lainnya dikonsumsi umat manusia pertahunnya.
Produk perairan berkontribusi sebesar 50 persen dari total masukan protein umat
manusia, dan pada beberapa pulau kecil dan negara-negara berkembang angka
tersebut cenderung lebih besar.
Selain menggunakan lahan secara
masif, agrikultur juga memanfaatkan sumber daya air dalam skala yang sangat besar.
Lebih dari 200 juta hektar lahan subur telah dilengkapi dengan sistem irigasi,
dengan memanfaatkan hampir 2.500 milyar meter kubik air pertahunnya. Kebutuhan
air ini berasal dari aquifer, danau maupun sungai dan mencapai hampir 75 persen
pemenfaatan sumber daya air oleh umat manusia. Sistem irigasi menjamin
keberlanjutan sistem suplai bahan pangan, sekitar 40 persen dalam kasus
produksi sereal. Akhirnya, input bahan kimia dalam jumlah yang sangat
signifikan diperlukan untuk mencapai hasil produksi yang tinggi dalam sistem
yang intensif. Diantara bahan kimia tersebut adalah nitogen, dengan penggunaan
mencapai 100 juta ton pertahun.
Sebagai konsekuensi dari aktivitas
dalam skala yang sangat besar ini, agrikultur merupakan kontributor utama
terhadap degradasi lahan, dan lebih khusus lagi terhadap emisi gas rumah kaca. Kegiatan
ini mengemisikan 13-15 milyar ton CO2e per tahun, yang merupakan sepertiga
total emisi yang dilepaskan dari seluruh aktivitas umat manusia. Dari
keseluruhan aktivitas manusia, agrikultur bertanggung jawab terhadap 25 persen
emisi karbon dioksida (sebagian besar diantaranya terjadi dari kerusakan
hutan), 50 persen emisi metana (dari kegiatan pertanian lahan basah/padi dan
fermentasi enterik), dan lebih dari 75 persen emisi N2O (sebagian besar dari
penggunaan pupuk).
Jika emisi gas rumah kaca-termasuk
yang berasal dari kegiatan agrikultur, tidak terkontrol dalam beberapa dekade
mendatang, maka peningkatan konsentrasi mereka di atmosfer diproyeksikan akan
memperkuat terjadinya perubahan iklim di abad ke 21. Jika interferensi
antropogenik berbahaya terhadap sistem iklim perlu dihindari dalam beberapa
dekade mendatang dan pemanasan atau peningkatan suhu global masih dalam batas
yang dapat diterima (dalam hal ini adalah 20 pada akhir abad ini),
maka diperlukan usaha untuk menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer. Hal ini memerlukan pengurangan emisi gas rumah kaca global secara
signifikan, dimulai dari saat ini dan paling lambat antara tahun 2020-2030.
Reference : Climate
Change, Adaptation and Mitigation, Challenge and Opportunities In The Food Sector, FAO, Rome, Italy, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar