Frasa kedaulatan
pangan menjadi suatu tema yang sangat seksi dalam beberapa dekade terakhir di
awal abad ke 21. Tema ini sebegitu menarik utamanya di negara-negara berkembang
di kawasan Eropa, Amerika Latin, Afrika dan tentunya juga kita di Asia. Dalam
kenyataannya, masalah ini tidak begitu menjadi topik menarik pada negara-negara
berbahasa Inggris seperti USA, Australia maupun UK sendiri.
Tema
kedaulatan pangan pertama kali muncul pada tahun 1996 pada agenda World Food
Summit (Pertemuan Tingkat Tinggi Pangan Dunia) yang digagas oleh FAO, sebuah
badan dunia yang mengurusi masalah pangan. Adalah sebuah organisasi petani
pemilik lahan La Via Campesian (LVC) dari Amerika Latin yang pertama kali
menggagas ide tersebut.
Akibat
perdagangan global, hidup dan mati petani di Amerika Latin sangat dipengaruhi
subsidi ekspor bahan pangan dan bantuan pertanian di Amerka Serikat. Kebijakan
pemerintah Amerika Serikat telah menjadi semacam dumping produk pangan (impor produk pangan dengan harga dibawah harga
lokal, kebanyakan melaui mekanisme subsidi pemerintah) bagi petani kecil di
Amerika Latin dan merupakan salah satu efek negatif liberalisasi perdagangan bebas
sektor pangandan pertanian yang digagas
WTO.
Hal yang mirip
terjadi dengan adanya perang dagang produk pertanian antara Indonesia dan
China. Banjir produk buah dari daratan China diperkirakan terjadi melalui
mekanisme yang sama. Hal yang kemudian menjadi lebih parah ketika produk buah
lokal Indonensi seperti Salak, Kesemek dan Duku mengalami kesulitan untuk
menembus pasar Negeri Tirai Bambu. Sementara produk impor buah dari China seprti
jeruk dan anggur sebernarnya bukan tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
Benang merah
yang dapat ditarik dari fenomena ini adalah bahwa mempertahankan kedaulatan
pangan ternyata sama beratnya merebut dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Perdangan global menjadikan semua negara sedemikian volatile dan fragile
(rapuh) yang memerlukan proteksi menyeluruh dalam bentuk aplikasi kebijakan
dari pemerintah yang lebih pro terhadap produk dan potensi lokal.
Contents adapted from FAO, Rome-Italy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar