Perkembangan
konsep kedaulatan pangan tidak terlepas dari fenomena globalisasi yang menuntut
adanya liberalisasi sektor perdagangan (a.k.a
perdagangan bebas). Gerakan liberalisasi perdagangan yang digagas
negara-negara kapitalis-liberal menyandarkan idiomnya pada teori ekonomi yang
menyatakan bahwa akan lebih baik apabila setiap unit ekonomi (dalam hal WTO adalah negara itu sendiri)
mengkhususkan diri (spesialisasi) pada produksi barang/jasa yang dengan biaya
lebih murah dibanding dibanding unit ekonomi yang lain. Perdagangan tanpa batas
dalam kasus ini kemudia akan menghasilkan kesejahteraan global yang lebih
besar.
Akan tetapi, satu
hal yang tidak disadari kemudian adalah bahwa konsep perdagangan ini dalam
pandangan sederhana akan menimbulkan efek menang-kalah diantara pihak yang
terlibat. Mengantisipasi hal ini, kemudian pihak yang kalah akan mencari item
atau komoditi perdagangan lain yang lebih memberikan keuntungan secara
komparatif. Dengan konsep spesialisasi ini, maka produksi dunia akan
barang-jasa akan terkotak-kotak dan mengesampingkan keanekaragaman (hayati)
yang ada. Sebagai misal petani Indonesia sebaiknya menanam kakao yang hanya
bisa tumbuh didaerah topis dan tidak menanam jagung atau kedelai meski secara
pasar konsumsi kedelai di Indonesia sangat tinggi. Jagung atau kedelai
sebaiknya diproduksi oleh petani di Amerika Serikat yang terbukti punya
teknologi dan produktivitas yang lebih tinggi dengan harga jual yang lebih
murah.
Konsep
liberalisasi ekonomi ternyata hanya bagus diatas kertas, kenyataan yang terjadi
adalah perdagangan bebas tidak pernah berjalan secara sempurna. Fakta yang ada,
“ketidak-sempurnaan“ perdagangan bebas adalah sangat serius dan berbagai
peraturan yang dikembangkan dalam menjaga “kebebasan” lebih banyak membawa
bahaya daripada kebaikan terhadap liberalisasi itu sendiri. Beberapa ketidak
sempurnaan yang banyak disebutkan antara lain :
·
Praktik subsidi produk/prose pertanian yang
digunakan secara luas diberbagai negara dengan sistem/penerapan yang sangat
berlainan;
·
Perkembangan pasar yang sangat oligopolis akan
produk dan input pertanian.
Kondisi
tersebut membawa pemikiran dari beberapa pihak yang berkompeten terhadap kedaulatan
pangan dengan menyatakan bahwa secara kualitatif produksi bahan pangan dan
pertanian adalah sangat berbeda dari perdagangan produk manufaktur yang
dihasilkan banyak perusahaan. Pemikiran mereka menyatakan bahwa bahan pangan
dan produk pertanian mempunyai nilai kualitatif tertentu dalam hidup dan fungsi
sosial, dalam artian dia harus dipandang lebih dari sekedar barang dagangan/komoditi.
Perbedaan
pandangan dan penilaian akan bahan pangan dan produk pertanian nampak nyata di
banyak negara-negara berkembang. Di kawasan tersebut, produksi pertanian telah
membentuk suatu sistem penghidupan dari sebagian besar populasi, lebih jauh
proses produksi pertanian merupakan keseluruhan sistem budaya dan ekologi
lokal. Dalam hal ini berbagai permasalahan penting terkait sistem ekonomi,
lingkungan hidup, dan masalah sosial terikat erat dengan segala aktivitas
agrikultur.
Contents
adapted from FAO, Rome-Italy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar