Ubah Perilaku (UNEP) |
Kita yang hidup di era modern, dalam
beberapa decade terakhir menjumpai sebuah perubahan iklim yang tidak biasa
sebagai akibat pemanasan global. Kejadian, angin rebut, badai, kekeringan, suhu
eksterm, banjir, longsor, gagal panen menjadi lebih sering terjadi. Gaung idiom
pemanasan global menggema di seantero jagad, dari sunyi dan gersang Gurun
Sahara di Afrika sampai dengan Alice Spring, sebuah kota kecil tepat di jantung
Australia. Seluruh dunia telah sepakat bahwa gas rumah kaca merupakan tersangka
utama seluruh kejadian yang ada.
Dampak pemanasan yang semakin dirasakan
mendorong kita untuk merubah perilaku menuju keseimbangan emisi gas rumah kaca.
Perubahan ini dimulai dari individu, komunitas, pemerintah setempat sampai
dengan kebijakan nasional. Perubahan iklim yang terjadi memaksa
kita melakukan adaptasi dan mitigasi demi keberlanjutan hidup ras manusia di
muka bumi.
Dalam tataran kebijakan, keberhasilan
dalam perubahan perilaku warga di beberapa kota di dunia dapat menjadi
referensi dan layak untuk di duplikasi. Di mulai dari Curitiba, sebuah kota nan
asri di belantara Amazone, Brasilia, lalu berlanjut ke Bogota Kolombia kemudian
berlanjut ke Meksiko City, kota warisan suku maya. Selanjunya Jakarta, kota
kebanggaan Indonesia, dan terakhir menuju Seoul, ibukota gaya hidup hiphop dan
RnB Asia.
Peralihan kebijakan melalui penggunaan
transportasi massal yang lebih ramah lingkungan telah menjadi tren bagi kota
kota tersebut. Hebatnya pemerintah setempat mengintegrasikan dengan berbagai
sector terkait sehingga menjadi lebih menarik bagi warganya. Sebagai misal di Curitiba, kita bisa mendapatkan
voucher bus gratis, hanya dengan mengelola, memilah atau barter sampah, laksana
bank sampah di Indonesia. Terinspirasi sukses di
Bogota Kolombia, Jakarta menerapkan transportasi
massal yang lebih ramah lingkungan dengan pembangunan koridor jalur bus massal cepat
(busway) sepanjang hampir 13 kilometer. Dengan bonus
jaminan efisiensi dan keamanan bagi pemakainya, diperkirakan kebijakan ini ikut
berandil terhadap penurunan emisi sebesar 120.000 ton CO2e pertahun.
Dengan menggandeng perbankan setempat, kota Meksiko City di Amerika Utara
menerapkan kebijakan pengelolaan moda transportasi kota yang lebih ramah
lingkungan. Usaha yang dilakukan adalah dengan mengganti kendaraan umum berupa
taksi dengan model baru yang lebih efisien bahan bakar. Diperkirakan ada lebih
dari 103.000 taksi tua yang masih beroperasi di jalanan Meksiko City dan
menyumbang 35% emisi dan pencemaran dari sektor transportasi di kota tersebut.
Target awal dalam program tersebut adalah konversi 10.000 taksi dengan yang
baru pada tahun 2012.
Dengan berbagai kesuksesan yang telah diraih, kota Seoul di
Korea Selatan berusaha menunjukan kepada warganya bahwa ada banyak jalan dan
cara untuk berkeliling kota selain dengan mobil pribadi. Demi meningkatkan
kualitas udara, mengurangi pemakainan bahan bakar minyak dan penghematan
energi, secara mingguan mereka menyelenggarakan minggu tanpa berkendara (car
free week). Secara akumulasi, dalam satu tahun dua juta kendaraan tetap di
garasi, dengan demikian mengurangi emisi sebesar10 persen setara 2 juta ton CO2. Dengan
pelaksanaan program secara mingguan, memungkinkan warga yang berminat mencari
moda transport alternatif lain yang seusai dalam usaha menuju atau dari tempat
kerja. Selanjutnya warga yang berpartisipasi akan mendapat insentif dalam
bentuk diskon pembelian bahan bakar, kartu bebas parkir atau gratis pencucian
kendaraan.
Selain menjadi lebih ramah terhadap
emisi gas rumah kaca, perubahan perilaku tersebut juga menjadikan warganya lebih
sehat dan menjadi penggerak roda perekonomian warga kota. Lebih dari itu,
perubahan perilaku menjadi jalan bagi konservasi sumber daya alam dengan
memaksimalkan kearifan, karakter dan potensi local yang ada.
(Kick the Habbits, UNEP, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar