7.19.2016

Pengaruh Perburuan Burung Terhadap Pertanian dan Keseimbangan Ekosistem



Ilustrasi lahan budidaya

Lahan pertanian secara global saat ini mencakup luasan hampir 40% permukaan bumi, atau hampir separuh dari area yang dapat dihuni manusia (Clay, dalam Ali Tabur, 2004). Perubahan dan pengelolaan lanskap untuk menghasilkan bahan pangan dan berbagai jenis komoditi agrikultur untuk mencukupi kebutuhan manusia, merupakan ancaman paling nyata terhadap kelangsungan keanekaragaman hayati (Foley et al, dalam Ali Tabur, 2004). Karena hal tersebut, distribusi penggunaan lahan menjadi indikator yang lebih baik dalam memperkirakan status ancaman terhadap keanekaragan hayati, dibandingkan dengan menggunakan indikator distribusi penduduk. Pertanian berpengaruh terhadap ekosistem alami dalam berbagai cara, antara lain modifikasi lanskap, tanah, perubahan tata air akibat perusakan hutan, erosi dan banjir. Selain itu eliminasi atau propagasi/peningkatan suatu spesises hewan dan tumbuhan tertentu dapat menjadi penyebab perubahan ekosistem alam.
Pertanian membawa dampak terhadap keanekaragaman hayati dalam dua cara. Pertama melalui alih fungsi dan pembersihan lahan yang memicu terjadinya frgamentasi dari habitat yang tersisa, polusi dan beberapa jenis gangguan lainnya. Kedua adalah penurunan keanekaragaman hayati akibat kegiatan intensifikasi sistem pertanian, yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan produktifitas. Burung dalam hal ini merupakan spesies yang paling terancam akibat kedua hal tersebut. Burung secara perilaku, penyebaran, dan perhitungan jejak populasi terkait erat secara temporal dan spasial dengan perubahan sitem pertanian. Aktivitas mereka dalam mencari makan, mencari pasangan dan membuat sarang sangat dipengarui oleh perubahan habitat pertanian. Burung secara luas telah digunakan sebagai indikator bagi perubahan lingkungan, dan peningkatan intensitas pertanian sangat berkaitan dengan terjadinya penurunan populasi berbagai jenis burung di Eropa, Amerika Utara, Afrika dan Asia (Donald & Evans, dalam Ali Tabur, 2004).
Ketika sebuah ekosistem alami seperti misalnya hutan dan rawa mengalami kerusakan, peran ekologis burung dengan serta merta menghilang. Dalam banyak kasus, ternyata penurunan populasi burung di alam tidak terkait langsung dengan kehilangan habitat alaminya. Kegiatan seperti eksploitasi (perburuan), introduksi spesies baru, penyakit, dan beberapa faktor lainnya menjadi penyebab lain menurunnya populasi. Selanjutnya, penurunan populasi ini disertai dengan kehilangan peran burung dalam menyediakan jasa ekosistem. Dalam beberapa dekade mendatang diperkirakan laju penurunan populasi dan kepunahan burung akan meningkat, seiring dengan semakin intensnya perubahan iklim di sisi lain. 
Perburuan liar burung di alam tejadi karena tingginya permintaan akan burung sebagai bagian dari hobi dan aktivitas. Menjadi penting upaya penangkaran burung sebagai langkah lain dari penyediaan burung bagi komunitas pecinta burung (kicau mania). Sampai saat ini posisi penangkar burung masih belum memiliki peran yang nyata dalam sirkulasi dan distribusi burung oleh para kicau mania. Mereka masih tersisih oleh para importir dan juga pehobi yang sebatas memelihara burung.

Pengaruh Perburuan Burung Terhadap Pertanian dan Keseimbangan Ekosistem



Ilustrasi lahan budidaya

Lahan pertanian secara global saat ini mencakup luasan hampir 40% permukaan bumi, atau hampir separuh dari area yang dapat dihuni manusia (Clay, dalam Ali Tabur, 2004). Perubahan dan pengelolaan lanskap untuk menghasilkan bahan pangan dan berbagai jenis komoditi agrikultur untuk mencukupi kebutuhan manusia, merupakan ancaman paling nyata terhadap kelangsungan keanekaragaman hayati (Foley et al, dalam Ali Tabur, 2004). Karena hal tersebut, distribusi penggunaan lahan menjadi indikator yang lebih baik dalam memperkirakan status ancaman terhadap keanekaragan hayati, dibandingkan dengan menggunakan indikator distribusi penduduk. Pertanian berpengaruh terhadap ekosistem alami dalam berbagai cara, antara lain modifikasi lanskap, tanah, perubahan tata air akibat perusakan hutan, erosi dan banjir. Selain itu eliminasi atau propagasi/peningkatan suatu spesises hewan dan tumbuhan tertentu dapat menjadi penyebab perubahan ekosistem alam.
Pertanian membawa dampak terhadap keanekaragaman hayati dalam dua cara. Pertama melalui alih fungsi dan pembersihan lahan yang memicu terjadinya frgamentasi dari habitat yang tersisa, polusi dan beberapa jenis gangguan lainnya. Kedua adalah penurunan keanekaragaman hayati akibat kegiatan intensifikasi sistem pertanian, yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan produktifitas. Burung dalam hal ini merupakan spesies yang paling terancam akibat kedua hal tersebut. Burung secara perilaku, penyebaran, dan perhitungan jejak populasi terkait erat secara temporal dan spasial dengan perubahan sitem pertanian. Aktivitas mereka dalam mencari makan, mencari pasangan dan membuat sarang sangat dipengarui oleh perubahan habitat pertanian. Burung secara luas telah digunakan sebagai indikator bagi perubahan lingkungan, dan peningkatan intensitas pertanian sangat berkaitan dengan terjadinya penurunan populasi berbagai jenis burung di Eropa, Amerika Utara, Afrika dan Asia (Donald & Evans, dalam Ali Tabur, 2004).
Ketika sebuah ekosistem alami seperti misalnya hutan dan rawa mengalami kerusakan, peran ekologis burung dengan serta merta menghilang. Dalam banyak kasus, ternyata penurunan populasi burung di alam tidak terkait langsung dengan kehilangan habitat alaminya. Kegiatan seperti eksploitasi (perburuan), introduksi spesies baru, penyakit, dan beberapa faktor lainnya menjadi penyebab lain menurunnya populasi. Selanjutnya, penurunan populasi ini disertai dengan kehilangan peran burung dalam menyediakan jasa ekosistem. Dalam beberapa dekade mendatang diperkirakan laju penurunan populasi dan kepunahan burung akan meningkat, seiring dengan semakin intensnya perubahan iklim di sisi lain. 
Perburuan liar burung di alam tejadi karena tingginya permintaan akan burung sebagai bagian dari hobi dan aktivitas. Menjadi penting upaya penangkaran burung sebagai langkah lain dari penyediaan burung bagi komunitas pecinta burung (kicau mania). Sampai saat ini posisi penangkar burung masih belum memiliki peran yang nyata dalam sirkulasi dan distribusi burung oleh para kicau mania. Mereka masih tersisih oleh para importir dan juga pehobi yang sebatas memelihara burung.

Permasalahan Pengelolaan SUB DAS Citarik Sungai Citarum Hulu



Sungai Citarum Hulu di Kareumbi Masigit

SUB DAS Citarik merupakan salah satu anak Sungai Citarum - sungai terpanjang dan terpenting di Jawa Barat. SUB DAS Citarik berhulu di Kawasan Konservasi Hutan Buru Kareumbu Masigit Kabupaten Sumadeng untuk kemudian bermuara ke Sungai Citarum di Kabupaten Bandung. Sungai Citarum yang merupakan salah satu sungai strategis nasional yang mendukung pergerakan ekonomi nasional. Dalam sistem Daerah Aliran Sungai Citarum Terdapat tiga bendungan besar (Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur) yang berperan penting dalam menyediakan sumber tenaga listrik dalam sistem interkoneksi Jawa- Bali. Selain itu, Daerah Aliran Sungai Citarum juga merupakan penyumbang sebagian besar kebutuhan air baku air minum bagi penduduk Jakarta.
Dengan perannya yang sangat besar, Daerah Aliran Sungai Citarum  terbagi kedalam tiga zona pengelolaan yaitu : zona hulu, zona tengah dan zona hilir. Zona hulu citarum merupakan daerah tangkapan air yang menjadi sumber air bagi tiga waduk besar yang ada di zona tengah (Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk Jatiluhur). Kawasan hulu daerah aliran Sungai Citarum (dengan SUB DAS Citarik termasuk didalmnya) dicirikan dengan kegiatan dominan berupa konservasi air dan tanah seperti perlindungan hutan, terasering pertanian, dan sistem budidaya sesuai kontur lahan. Daerah hulu SUB DAS Citarik memiliki kerapatan sungai (panjang sungai per luas area) yang tinggi dengan didukung keberadaan mata air yang mengalir sepanjang tahun. Kawasan hulu ini merupakan lahan dengan kemiringan yang relatif tajam (lebih dari 15%, dalam batas tertentu lebih besar dari 25%). Kawasan ini cenderung terbebas dari banjir, dengan pola penggunaan sumber air ditentukan oleh sistem drainase/saluran secara alami, misalnya sungai atau anak sungai. secara sosio-kultural, ciri masyarakat pada daerah hulu daerah aliran sungai adalah petani (agraris), dengan pendapatan dari beragam produk budidaya pertanian dikombinasikan dengan tanaman keras/tanaman hutan.
Zona tengah Daerah Aliran Sungai Citarum merupakan zona pemanfaatan, dimaana didalamnya terdapat tiga bendungan besar (Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk Jatiluhur). Ketiga waduk ini mempunyai fungsi utama sebagai penghasil energi listrik bagi kebutuhan listrik sistem interkoneksi Jawa-Bali. Selain itu waduk tersebut juga mempunyai fungsi pendukung lainnya seperti kegiatan pariwisata, perikanan (keramba jaring apung), transportsi, sumber air irigasi dan sumber air baku air minum. Beberapa permasalahan mengemuka di zona tengah (waduk) seperti : tingginya laju sedimentasi akibat erosi dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali di zona hulu; pencemaran dari kegiatan industri dan domestik; dan maraknya budidaya perikanan keramba jaring apung. Tekanan tersebut mengakibatkan umur ekonomis pemanfaatan waduk menjadi berkurang dari estimasi awal pada saat pembangunan.
Berbeda dengan zona hulu dan zona tengah, zona (kawasan) hilir Sungai Ciatarum merupakan area yang sebagian besar tidak digunakan sebagai konservasi air dan tanah, meliankan merupakan kawasan budidaya seperti misalnya kawasan pertanian (padi) ataupun kawasan industri. Bagian hilir daerah aliran Sungai Citarum merupakan kawasan dengan kerapatan sungai yang kecil, dengan sebagian besar merupakan sungai besar yang mengalir ke laut. Lahan pada bagian hilir daerah aliran sungai merupakan kawasan dengan kemiringan landai sampai data (kurang dari 15%, sebagian besar kurang dari 8%). Berkaitan dengan topografi lahan tersebut, bagian hilir daerah aliran sungai merupakan kawasan rawan banjir. Pola penggunaan lahan kawasan ini terutama adalah melalui sistem irigasi yang digunakan untuk pertanian dengan sebagian besar vegetasi yang ada adalah tanaman budidya dengan pengecualian pada daerah muara yang didominasi mangrove atau gambut.
Secara sosio-kultural, ciri ciri masyarakat hilir sungai merupakan masyarakat pekerja, petani daratan rendah, nelayan, dan produk pertanian monokultur misalnya padi atau produk lain. Zona hilir Sungai Citarum merupakan area pertanian yang mencakup area irigasi teknis seluas 300 ribu hektar yang meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupten Indramayu. Zona citarum Hilir juga menjadi sumber air bagi 80% kebutuhan air baku jakarta. Secara umum lebih dari 25 juta penduduk di Propinsi Jawa Barat dan Ibukota Jakarta menggantungakan hidup kepada Sungai Citarum.
Terdapat keterkaitan yang erat antara ketiga zona pengelolaan tersebut sebagai satu kesatuan daerah aliran sungai. Kondisi pada kawasan hulu seperti luasan daerah tangkapan air, topografi daerah tangkapan air, tata guna lahan, tutupan lahan, debit sungai, curah hujan, dan kandungan lumpur sungai sebagai hasil erosi menentukan kualitas dan kuantitas senyawa kontaminan dan sedimen yang terangkut ke kawasan pemanfaatan (zona tengah dan zona hilir). Keadaan ini mememerlukan penanganan secara terintegrasi antar para pemangku kepentingan terutama menyangkut tata guna lahan dan agroekosistem. Hasil pemantauan pada sistem DAS Citarum menunjukan bahwa kualitas air sudah mengalami penurunan sebelum air sungai (inlet) mencapai zona tengah (Waduk Saguling). Air sungai yang berasal dari inlet tersebut selain bersifat korosif juga membawa bahan organik terlarut yang sangat tinggi pemacu penyuburan waduk dan menimbulkan perkembangan tak terkendali gulma/tanaman air (eceng gondok, ganggang). Lebih lanjut eutrofikasi waduk memicu turunnya kosentrasi oksigen di perairan, memicu proses anaerob yang lebih banyak menghasilkan H2S pemicu korosi peralatan pembangkit listrik.
Demi menciptakan keseimbangan pembangunan antar berbagai sektor dan kawasan, menjadi sangat penting untuk memperhatikan berbagai hal menyangkut hubungan hulu-hilir daerah aliran sungai. Kecenderungan yang ada saat ini, penyusunan kebijakan terkadang melupakan aspek penting tersebut. Kebutuhan akan kebijakan yang terintegrsi ini tidak hanya menyangkut masyaakat dan kepentingan berbagai segmen dalam daerah aliran sungai, tetapi juga menyangkut aspek pembangunan regional, secara umum adalah implikasi ekologis dari penggunaan sumber daya air di berbagai segmen daerah tangkapan air. Tinjauan diatas menunujukan arti penting interaksi hulu-hilir dalam pengelolaan daerah aliran sungai melalui cara pandang yang lebih luas. Beberapa hal seperti perlindungan jasa ekosistem, pembangunan kawasan dan pengelolaan kawasan pantai dan pesisir menjadi sangat penting. Dua hal mendasar dalam pengelolaan daerah aliran sungai secara berkelanjutan adalah sampai sejauh mana hubungan antara hulu dan hilir turut dipertimbangkan dalam struktur pengelolaan dan mekanisme seperti apa yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dalam berbagai segmen daerah aliran sungai.
Pengelolaan daerah aliran sungai harus mampu Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam pada daerah aliran sungai secara berkelanjutan (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Pengelolaan daerah aliran sungai sudah seharusnya menjamin kuantitas dan kualitas air sepanjang tahun melalui pengendalian air permukaan dan banjir (stabilitas tata air) dan pengendalian erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya (stabilitas tanah). Selain itu pengelolaan daerah aliran sungai yang baik ditandai dengan tercapainya kesimbangan ekologis sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi dalam pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS.