8.02.2014

Segala Manfaat Membuat Kompos dari Sampah Organik Rumah Tangga

kompos, media tanam terbaik (doc pribadi)
Idiom perubahan iklim (climate change) sebagai akibat pemanasan global saat ini sedang melanda berbagai belahan dunia. Pemanasan global pada dasarnya adalah terjadinya gangguan pada kesetimbangan daur karbon sebagai akibat beragam aktivitas manusia. Dari aktivitas kecil seperti saat kita menghembuskan nafas, pelapukan kayu di hutan, pembakaran lahan sampai dengan hal besar seperti letusan gunung berapi bertanggung jawab terhadap konsentrasi karbon di atmosfer. Ketika kita membakar minyak bumi, gas alam atau batubara, sejumlah besar rantai karbon prasejarah (fossil fuel) yang sudah tersimpan dibawah tanah selama jutaan tahun terbebaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida. Alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan kesetimbangan daur karbon tersebut adalah dengan mengunci atom karbon tersebut kembali dalam tanah.

Pemanasan global dapat lawan atau kurangi dampaknya dengan membatasi emisi gas rumah kaca. Salah satu cara adalah dengan melakukan pengomposan segala sampah organik yang ditimbulkan oleh kegiatan rumah tangga. Sisa kegiatan kita seperti daun yang berguguran, pangkasan tanaman, tanaman mati, sisa makanan dan juga sampah dapur dapat kita buat kompos yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyuburkan kebun dan halaman kita. Selain itu berbagai bahan organik tersebut juga dapat diaplikasikan langsung ke halaman atau kebun menjadi penutup lahan, yanga akan mencegah erosi ataupun pencucian bunga tanah.  Dengan mendaur ulang bahan organik, tidak hanya mengurangi emisi metana di TPA (tempat pengolahan sampah), tapi juga menyimpan karbon dan menambah kesehatan tanah halaman dan kebun kita.

Kompos, yang dapat berupa campuran berbagai material organik (daun, kotoran hewan, sisa makanan). Kompos terbentuk melalui proses alam dimana bakteri, fungi dan organisme lainnya memecah bahan organik menjadi bahan pengkaya tanah. Meski proses pengomposan masih  menghasilkan gas rumah kaca, proses ini  tetap jalan terbaik mengolah material organik dibanding sistem lanfill.

Cukup dimulai dengan pemilahan sampah (organik dan anorganik), material organik dapat diproses menjadi kompos dengan penumpukan (gundukan). Dengan menambahkan kotoran hewan piaraan anda (ayam, unggas, kelinci, kambing, sapi), dalam satu bulan kompos anda akan terbentuk tanpa perlu bahan tambahan atau aktivator. Perlu diingat kompos perlu pengadukan rutin, minimal sekali seminggu, apabila ada waktu luang (tiap pagi), Lebih sering akan sangat bagus.

Sisi baik pengomposan adalah bahwa dalam proses tersebut terjadi secara aerob (dengan kehadiran oksigen) sehingga membatasi terbentuknya metana, yang 21 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida. Dilain pihak, sistem lanfill terjadi secara anaerob (tanpa oksigen), sehingga material organik terdegradasi oleh bakteri tanpa kehadiran oksigen membentuk metana. Studi lebih lanjut membuktikan bahwa pengomposan tetap proses yang lebih baik terhadap pemanasan global dibanding proses pembakaran/insinerasi (insinerator) bahan organik. 

Nah, ayo selamatkan bumi dengan mengembalikan sampah organik kita ke bumi dengan pengomposan!
www.maszoom.blogspot.com
referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010

8.01.2014

5 Tips Mengkonsumsi Produk Makanan Secara Ramah Lingkungan

mana yang lebih ramah lingkungan? (net)
Pola konsumsi manusia berperan besar terhadap emisi gas rumah kaca. Bersama dengan sektor energi, transportasi dan penggunaan lahan, sektor konsumsi merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Dalam pola konsumsi tersebut, berbagai faktor mempengaruhi banyak sedikitnya jejak karbon suatu produk makanan. Dimulai dari proses produksi agricultur (pupuk, pengolahan tanah, jenis tanaman),  pengolahan pasca panen, pendinginan, transportasi, pengepakan, retail, penyimpanan di rumah sampai dengan dihidangkan di meja makan dan pembuangan sampah sisa makanan. Dalam hal ini jenis dan macam makanan yang berbeda menghasilkan dampak emisi gas rumah kaca yang berbeda.

Sebagai salah satu contoh, kentang dan teh menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit dalam proses budidayanya dibandingkan dalam proses pengolahan pasca panen dan konsumsi. Memasak keripik kentang, memanaskan air untuk membuat teh selanjutnya memerlukan energi yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Selain itu, dalam rantai konsumsi daging, buah dan sayuran segar, komoditi yang melalui tahap proses pengawetan dengan pendinginan/ pembekuan mempunyai dampak pemanasan global yang paling besar.
Berkaca dari permasalahan tersebut, diperlukan langkah bijak mengantisipasi emisi gas rumah kaca dari sektor konsumsi. Untuk itu beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain :

1.   Memilih makanan dengan rantai distribusi terpendek, semakin panjang rantai distribusi, semakin besar jejak karbon suatu makanan.

2.   Mengutamakan produk nabati, produk berbasis bahan nabati memiliki jejak karbon relatif lebih kecil dibanding produk hewani.

3.   Mengutamakan produk daging putih, produk daging merah (sapi, kambing, kerbau) menghasilkan jejak karbon lebih besar dibanding produk daging putih (ikan, ayam).

4.   Memprioritaskan makanan lokal, produk makanan lokal memiliki jejak karbon lebih kecil dibanding produk luar daerah/impor.

5.   Mengurangi konsumsi buah diluar musim, produk buah diluar musim menghasilkan emisi yang lebih besar dibanding buah yang beredar pada saat musim buah.
Selain langkah diatas, kegiatan menanam sendiri makanan kita merupakan salah satu langkah paling bijak bijak dan cerdas menuju gaya hidup yang mengurangi emisi gas rumah kaca. Kita tahu bahwa sebagian besar produk makanan segar di pasaran telah menempuh perjalanan yang sangat jauh (bisa lebih dari 1.500 mil dalam ruangan berpendingin) untuk sekedar sampai ke meja makan. Sebagai contoh banyak jenis buah yang kita konsumsi berasal dari daratan Cina, Thailand, AS ataupun Australia.

Dengan menanam sendiri makanan kita di kebun belakang rumah dan halaman, kita menghilangkan faktor transportasi dan pedinginan yang mengkonsumsi energi dari pembakaran fosil yang tidak sedikit. Penggunaan energi beserta transportasi merupakan sektor penyumbang tebesar emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global pada dasarnya adalah terjadinya gangguan pada kesetimbangan daur karbon akibat berbagai aktivitas manusia. Ketika kita membakar minyak bumi, gas alam atau batubara, sejumlah besar rantai karbon prasejarah (fossil fuel) yang sudah tersimpan dibawah tanah selama jutaan tahun terbebaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida. Alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan kesetimbangan daur karbon tersebut adalah dengan mengunci atom karbon tersebut kembali dalam tanah, melalui tanaman yang kita tanam.

Selain mendapatkan makanan yang lebih segar, dipetik langsung dari tanaman, menanam sendiri makanan kita juga dalam taraf tertentu merupakan langkah menghemat uang. Selain itu mengkonsumsi makanan dari tanaman yang kita tanam sendiri merupakan suatu passion dan culminasi kepuasan tersendiri manakala kita mampu menghadirkan makanan yang kita amati tidak hanya mulai dari tanaman di tanam, tumbuh, berbunga, buah muda, sampai buah masak.

Dari sebuah sumber menyebutkan, dengan ukuran 6x9 atau sekitar 54 meter persegi, lahan yang ditanami sayuran mampu menghasilkan sekitar 150 kg produk per musim tanam. Seumpama lahan tersebut ditanama terung, dengan harga saat ini Rp 12.000,- (awal Juli 2014, payakumbuh), nilai nominal sebesar Rp 1.800.000,- adalah jumlah yang tidak sedikit. Menggabungkan tanaman buah dan sayuran di halaman dan kebun, terbukti selain mendapatkan keuntungan dari penampilan juga ternyata menambah variasi menu yang kita konsumsi.

referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010

Resep Terbaik Membuat Kompos Rumah Tangga

tanaman bermedia kompos (doc pribadi)
Perubahan iklim global sebagai akibat pemanasan global saat ini sedang melanda seantero dunia. Pemanasan global pada dasarnya adalah terjadinya gangguan pada kesetimbangan daur karbon akibat berbagai aktivitas manusia. Ketika kita membakar minyak bumi, gas alam atau batubara, sejumlah besar rantai karbon prasejarah (fossil fuel) yang sudah tersimpan dibawah tanah selama jutaan tahun terbebaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida. Alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan kesetimbangan daur karbon tersebut adalah dengan mengunci atom karbon tersebut kembali dalam tanah.

Kita dapat membantu melawan pemanasan global dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melakukan pengomposan segala sampah organik yang ditimbulkan oleh kegiatan rumah tangga. Sisa kegiatan kita seperti daun yang berguguran, pangkasan tanaman, tanaman mati dan juga sampah dapur dapat kita buat kompos yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyuburkan kebun dan halaman kita.

Ikuti langkah berikut untuk mendapatkan proses pengomposan dengan hasil terbaik sekaligus menghindari hama, serangga dan mikroorganisme pengganggu :

Keseimbangan Karbon dan Nitrogen. Proses pengomposan paling efektif terjadi manakala bahan organik memiliki perbandingan karbon dan nitrogen yang tepat. Dalam pengomposan, karbon dan nirogen diperlukan sebagai makanan bakteri, fungi dan jasad renik lain (cacaing) dalam proses pelapukan. Karbon digunakan oleh mikroorganisme tersebut sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen dalam bahan organik tersebut digunakan sebagai penyusun kerangka protein.

Perbandingan  karbon : nitrogen dalam proses pengomposan yang ideal berkisar antara 25 :1 sampai dengan 30 : 1. Perbandingan yang terlalu besar mengakikatkan proses pengomposan berjalan lambat, sebaliknya apabila perbandingan terlalul kecil, nitrogen akan terbebaskan ke udara dalam bentuk amonia yang menyebabkan bau busuk. Sebagai perkenalan, material yang kaya karbon cenderung kering dan kusam seperti daun kering, jerami, sisa gergajian, batang dan potongan kayu. Untuk material yang kaya nitrogen cenderung basah dan hijau lakasana daun segar, sayuran, sisa makanan maupun kotoran hewan.

Biarkan Kompos Bernafas. Proses pengomposan berlangsung secara aerobik (memerlukan oksigen), berbeda dengan pengolahan sampah yang terjadi secara anaerob (tanpa oksigen). Karena memerlukan oksigen dalam prosesnya, pencampuran dan pengadukan kompos secara berkala (tiga hari sekali) menjadi jalan keluar terbaik. Dengan pengadukan proses berlangsung lebih efektif, mengurangi terbentuknya metana (21 kali lebih berbahaya dari pada karbon dioksida terhadap pemanasan global) pada proses anaerob. Selain itu dengan pengomposan yang efektif, suhu kompos akan meningkat  dan membunuh organisme penyebab penyakit dan juga benih gulma yang merugikan.

Tutup Gundukan Kompos. Proses pengomposon membutuhkan suhu yang ideal untuk mendukung berlangsungnya proses yang efektif. Suhu akan meningkat berlahan secara parabolis dari suhu ruangan (25oC) sampai dengan titik maksimal sekitar 60oC untuk kemudian menurun ketika proses mencapai titik akhir. Prose pengomposan berakhir manakala warna menjadi gelap, remah dan berbau laksana tanah. Dengan penutupan, suhu gundukan/loop akan terjaga, menghindari terpaan hujan dan juga panas yang berlebihan.

Kompos yang sudah jadi mempunyai berbagai kegunaan seperti pengganti pupuk buatan, media tanam, atau media campuran pembibitan. Selain itu kompos juga bisa digunakan sebagai media penutup lahan yang sangat baik.

Ok, kan? What R U waiting 4?

referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010