8.01.2014

5 Tips Mengkonsumsi Produk Makanan Secara Ramah Lingkungan

mana yang lebih ramah lingkungan? (net)
Pola konsumsi manusia berperan besar terhadap emisi gas rumah kaca. Bersama dengan sektor energi, transportasi dan penggunaan lahan, sektor konsumsi merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Dalam pola konsumsi tersebut, berbagai faktor mempengaruhi banyak sedikitnya jejak karbon suatu produk makanan. Dimulai dari proses produksi agricultur (pupuk, pengolahan tanah, jenis tanaman),  pengolahan pasca panen, pendinginan, transportasi, pengepakan, retail, penyimpanan di rumah sampai dengan dihidangkan di meja makan dan pembuangan sampah sisa makanan. Dalam hal ini jenis dan macam makanan yang berbeda menghasilkan dampak emisi gas rumah kaca yang berbeda.

Sebagai salah satu contoh, kentang dan teh menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit dalam proses budidayanya dibandingkan dalam proses pengolahan pasca panen dan konsumsi. Memasak keripik kentang, memanaskan air untuk membuat teh selanjutnya memerlukan energi yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Selain itu, dalam rantai konsumsi daging, buah dan sayuran segar, komoditi yang melalui tahap proses pengawetan dengan pendinginan/ pembekuan mempunyai dampak pemanasan global yang paling besar.
Berkaca dari permasalahan tersebut, diperlukan langkah bijak mengantisipasi emisi gas rumah kaca dari sektor konsumsi. Untuk itu beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain :

1.   Memilih makanan dengan rantai distribusi terpendek, semakin panjang rantai distribusi, semakin besar jejak karbon suatu makanan.

2.   Mengutamakan produk nabati, produk berbasis bahan nabati memiliki jejak karbon relatif lebih kecil dibanding produk hewani.

3.   Mengutamakan produk daging putih, produk daging merah (sapi, kambing, kerbau) menghasilkan jejak karbon lebih besar dibanding produk daging putih (ikan, ayam).

4.   Memprioritaskan makanan lokal, produk makanan lokal memiliki jejak karbon lebih kecil dibanding produk luar daerah/impor.

5.   Mengurangi konsumsi buah diluar musim, produk buah diluar musim menghasilkan emisi yang lebih besar dibanding buah yang beredar pada saat musim buah.
Selain langkah diatas, kegiatan menanam sendiri makanan kita merupakan salah satu langkah paling bijak bijak dan cerdas menuju gaya hidup yang mengurangi emisi gas rumah kaca. Kita tahu bahwa sebagian besar produk makanan segar di pasaran telah menempuh perjalanan yang sangat jauh (bisa lebih dari 1.500 mil dalam ruangan berpendingin) untuk sekedar sampai ke meja makan. Sebagai contoh banyak jenis buah yang kita konsumsi berasal dari daratan Cina, Thailand, AS ataupun Australia.

Dengan menanam sendiri makanan kita di kebun belakang rumah dan halaman, kita menghilangkan faktor transportasi dan pedinginan yang mengkonsumsi energi dari pembakaran fosil yang tidak sedikit. Penggunaan energi beserta transportasi merupakan sektor penyumbang tebesar emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global pada dasarnya adalah terjadinya gangguan pada kesetimbangan daur karbon akibat berbagai aktivitas manusia. Ketika kita membakar minyak bumi, gas alam atau batubara, sejumlah besar rantai karbon prasejarah (fossil fuel) yang sudah tersimpan dibawah tanah selama jutaan tahun terbebaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida. Alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan kesetimbangan daur karbon tersebut adalah dengan mengunci atom karbon tersebut kembali dalam tanah, melalui tanaman yang kita tanam.

Selain mendapatkan makanan yang lebih segar, dipetik langsung dari tanaman, menanam sendiri makanan kita juga dalam taraf tertentu merupakan langkah menghemat uang. Selain itu mengkonsumsi makanan dari tanaman yang kita tanam sendiri merupakan suatu passion dan culminasi kepuasan tersendiri manakala kita mampu menghadirkan makanan yang kita amati tidak hanya mulai dari tanaman di tanam, tumbuh, berbunga, buah muda, sampai buah masak.

Dari sebuah sumber menyebutkan, dengan ukuran 6x9 atau sekitar 54 meter persegi, lahan yang ditanami sayuran mampu menghasilkan sekitar 150 kg produk per musim tanam. Seumpama lahan tersebut ditanama terung, dengan harga saat ini Rp 12.000,- (awal Juli 2014, payakumbuh), nilai nominal sebesar Rp 1.800.000,- adalah jumlah yang tidak sedikit. Menggabungkan tanaman buah dan sayuran di halaman dan kebun, terbukti selain mendapatkan keuntungan dari penampilan juga ternyata menambah variasi menu yang kita konsumsi.

referensi : Union of Concerned Scientist, USA, April 2010

Tidak ada komentar: