12.03.2012

Urban Farming, konsep baru food supply chain dari atap rumah


Sebuah studi yang dilakukan sebuah badan Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa penduduk perkkotaan/urban akan semakin dan semakin banyak dibandingkan dengan penduduk di kawasan pedesaan/rural. Prediksi arus urbanisasi menurut laporan tersebut akan meningkat dari angka 50% pada tahun 2009 menjadi hampir 69% pada tahun 2050. Penduduk perkotaan pada kurun 40 tahun mendatang akan mencapai 86% di negara – negara maju, sedangkan pada kawasan negara - negara berkembang seperti Indonesai akan berada pada kisaran 66%.

Keadaan ini menciptakan tekanan yang luar biasa terhadap kesetimbangan ekologi dan hubungan harmoni antara alam dan manusia. Saat ini, banyak kota- kota urban di dunia menghadapai apa yang dinamakan sebagai Urban Heat Island (UHI) – sebuah kondisi dimana suhu harian suatu kawasan urban mengalami kenaikan diatas rata-rata. Kondisi ini diperparah dengan minimnya ruang terbuka hijau sebagai penyangga (buffer) ekologi sebuah kota.

Berkaca pada kondisi ini, beberapa kota telah mencoba mengembangkan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan pembangunan yang lebih hijau dan memperkenalkan konsep pertanian urban. Salah satu contoh adalah konsep berkebun di atap rumah/apartemen yang sukses diterapkan di beberapa kota seperti Hong Kong, London maupun New York. Kini dengan mudah dijumpai berbagai produk pertanian mulai dari sayuran, buah sampai dengan madu asli yang dihasilkan dari atap-atap beton flat maupun apartemen kota-kota tersebut.

Dengan penerapan konsep berkebun di atap rumah tersebut, pemanfaatan bangunan secara berkelanjutan dalam aspek lingkungan, sosial maupun ekonomi akan diperoleh secara maksimal. Banyak hal positif akan diperoleh dalam penerapan konsep tersebut, mulai dari pengaruhnya terhadap mitigasi permasalahan lingkungan, meningkatkan fungsi sosial komunitas sampai dengan pengembangan sistem produksi bahan makanan (*_*).

(maszoom@ taken from The University of Hong Kong Web).

Prinsip Dasar Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan (bagian ke 3 dari 5 tulisan)


    
Pada bagian kedua rangkaian tulisan ini dikupas tentang peran masyarakat adat dalam penyusunan analisis dampak lingkungan hidup/Amdal. Pada intinya, penghargaan setinggi-tingginya diberikan kepada masyarakat adat sebagai sebuah entitas yang berbeda dari masyarakat mayoritas.  Selanjutnya bagian ini akan membuka bagaimana prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang dalam keterlibatan masyarakat adat pada proses analisis dampak lingkungan/amdal.

Prinsip dasar ini akan berlaku pada seluruh tahapan kajian dampak penting yang akan dilakukan, prinsip ini juga berlaku untuk penyusunan Strategic Enviornmental Assesment (Kajian Lingkungan Hidup Strategis/KLHS) dari suatu kebijakan (policy), rencana (plans) maupun program. Prinsip dasar diterapkan secara utuh dalam satu kesatuan pada keseluruhan proses.

Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip-prinsip tersebut merupakan barang impor yang kita pinjam sebentar dari dunia barat. Sedikit banyak didalamnya terkandung nilai-nilai yang mungkin tidak sesuai dalam konteks masyarakat timur. Hal sebaliknya mungkin juga terjadi, banyak nilai-nilai ketimuran yang adiluhur yang mungkin tidak kita temui dalam prinsip-prinsip tersebut.

Diantara prinsip dasar tersebut adalah : (1) persamaan derajat (eguality); (2) kekhasan (uniqueness); (3) Pengakuan Hak (rights); (4) kedaulatan (soverenity); (5) Cagar Budaya (cultural heritage) dan (5) penghormatan kepada pemuka adat (free prior informend consent).

       Prinsip persamaan derajat memandang masyarakat adat beserta pengetahuan tradisional seharusnya diperlakukan dengan penuh rasa hormat setara dengan nilai-nilai dalam ilmu pengetahuan barat yang diperoleh secara ilmiah. Masyarakat adat harus diperlakukan dengan rasa hormat setara dengan pemangku kepentingan (stakeholders) yang lain. Masyarakat adat sebagai pelaku pengetahuan tradisional merupakan para pakar dan ahli di bidang mereka masing-masing.

Prinsip kedaulatan memandang diri masyarakat adat sebagai kelompok berdaulat di suatu wilayah atau mempunyai otonomi untuk mengatur kelompoknya. Sangat penting bagi mereka untuk menjaga ketidak-terikatan ini dalam partisipasi proses penyusunan kajian lingkungan. Dalam beberapa hal, masyarakat adat tidak mempunyai keharusan untuk menerima secara utuh hukum yang berlaku dalam suatu negara, salah satunya mungkin dalam bentuk partisipasi penyusunan kajian lingkungan.

Prinsip cagar budaya menjamin hak masyarakat adat untuk mengontrol kekayaan intelektual dan jenis material yang lain terkait dengan cagar budaya mereka. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebudaan mereka dari intervensi masyarakat mayoritas.

Prinsip dasar terakhir dari peran masyarakat adat dalam kajian lingkungan hidup adalah penghormatan kepada pemuka adat. Hak kekayaan intelektual masyarakat adat dihormati terkait dengan pengetahuan tradisional, inovasi dan  adat-istiadat mereka. Pengetahuan tersebut terkadang hanya bisa dipakai dengan adanya dukungan dari para pemuka adat. Disinilah posisi prinsip penghormatan kepada para pemuka adat dalam proses kajian lingkungan hidup (*_*).

(wwww.maszoom.blogspot.com adated from IAIA)

Peran Masyarakat Adat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan (bagian ke 2 dari 5 tulisan)



Pada bagian terdahulu dari rangkaian tulisan ini secara sekilas telah dikupas definisi dan maksud dari masyarakat adat dan pengetahuan tradisional. Disana dijelaskan bagaimana masyarakat tradisional sebagai sebuah entitas memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dari masyarakat mayoritas.

Saat ini keberadaan mereka secara kelembagaan telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan dikeluarkannya Deklarasi PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nation Declaration on Rigths of Indigenous Peoples/UNDRIP).

Dalam deklarasi tersebut salah satunya menyebut bahwa PBB menjamin keberadaan dan keberlanjutan masyarakat adat ketika mereka terpapar dampak dari suatu kebijakan, rencana maupun program yang diusulkan pemrakarsa, baik pemerintah maupun swasta. Paparan dampak tersebut mungkin terjadi di/dekat tanah maupun wilayah mereka secara tradisional.

 Deklarasi tersebut juga menjamin bahwa menjadi berbeda dari budaya mayoritas adalah hak mereka secara inklusif. Dalam banyak kasus, hukum positif yang berlaku pada suatu daerah/negara memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat adat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) - terpisah dari masyarakat umum, untuk terlibat secara aktif dalam proses analisis dampak lingkungan hidup/AMDAL.

Andil masyarakat adat dalam proses analisis dampak lingkungan hidup/AMDAL terkait langsung dengan pemahaman dan pengetahuan tradisional yang mereka miliki yang sangat spesifik dengan wilayah sekitar yang mereka diami. Pengetahuan/ pemahaman tersebut akan sangat berguna dalam menentukan dampak yang mungkin (akan) terjadi.

Dalam proses analisis dampak lingkungan, pengetahuan tradisional dari masyarakat adat lebih dari sekedar penting, tetapi juga secara imperatif melengkapi analisa yang dilakukan dengan memenuhi serta menghormati kebutuhan tertentu dari masyarakat tersebut. Masyarakat adat sangat berperan dalam proses analisis dampak lingkungan terkait dengan pemahaman mereka tentang alam, penggunaan dan pemanfaatan alam secara lestari serta nilai-nilai yang berkaitan dengan alam sekitar.

Dalam pemahaman masyarakat tradisional, setiap gejala alam, merefleksikan segala perbuatan yang dilakukan manusia. Masyarakat adat memandang alam sebagai mahluk hidup tak ubahnya manusia. Alam memiliki perasaan, amarah, cinta kasih, kelembutan dan semua yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Masyarakat adat memandang manusia sebagai bagian dari alam dan manusia bukan penguasa alam.

Hal mendasar dari keterlibatan masyarakat adat dalam proses penyusunan AMDAL antara lain : (1) membolehkan masyarakat adat yang mungkin potensial terkena dampak penting untuk mengemukakan pendapatnya serta menjadi bagian dan turut serta dalam proses yang terjadi; (2) menggunakan pengetahuan tradisional sebagai komplemen dari pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah dari dunia barat; dan (3) menggunakan pengetahuan tradisional untuk melestarikan kebudayaan tradisional dari pengaruh kegiatan pembangunan (*_*).

(wwww.maszoom.blogspot.com adated from IAIA)