6.13.2016

Solusi Permasalahan Pengelolaan DAS Citarum Hulu



Sub DAS Citarum Hulu di Kereumbi Masigit

Daerah aliran sungai (DAS) secara terminologi merupakan suatu bentang lahan yang dibatasi oleh punggung bukit pemisah aliran (topographic devide) yang menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan melalui sungai dan bermuara ke danau hingga ke laut sampai dengan daereh perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Demi memperoleh semua manfaat dari daerah aliran sungai maka dilakukan pengelolaan daerah aliran sungai. Pengelolaan daerah aliran sungai adalah upaya mengatur hubungan timbal balik antara seumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segalanya agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Manajemen daerah aliran sungai secara berkelanjutan sejatinya merupakan pengelolaan segala manfaat yang diperoleh dari penanganan tanah, air dan sumber daya alam lainnya dalam suatu daerah aliran sungai secara berkelanjutan dan berkeadilan antara masyarakat hulu dan masyarakat hilir, dengan tanpa merusak sumber daya alam dan lingkungan yang ada.
Pengelolaan daerah aliran sungai dapat dipandang sebagai : i) sebuah proses yang melibatkan tahapan perencanaan, implementasi dan monitoring-evaluasi secara terpisah namun sangat berkaitan erat; ii)  merupakan suatu perencanaan sistem manajemen yang terukur dengan berbagai perangkat implementasi melalui penerapan penyusunan kelembagaan dan organisasi; dan iii) merupakan seperangkat aktivitas yang saling terkait dimana diperlukan tugas-tugas manajerial khusus. Pengelolaan daerah aliran sungai dimulai dengan proses perumusan persoalan-persoalan dan tujuan bersama pengelolaan sumber daya alam dalam daerah aliran sungai. Diperlukan sinkronisasi rencana dan progam sektoral dalam pengelolaan daerah aliran sungai untuk mencapai tujuan bersama dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial-ekonomi-budaya, politik dan kelembagaan yang bekerja dalam wilayah tersebut. Perencanaan dan implementasi pengelolaan daerah aliran sungai dilaksanakan berdasar kesepakatan bersama melalui mekanisme partisipatif dan adaptif untuk seluruh pemangku kepentingan di wilayah hulu dan hilir daerah aliran sungai.
Melihat secara kasat mata, sangat jelas terlihat bahwa SUB DAS Citarik belum dikelolah dengan semestinya. Manajemen pengelolaan SUB DAS Citarik yang tidak efektif berdampak pada buruknya kualitas dan kondisi sungai tersebut. Tidak berjalannya manajemen pengelolaan ini dapat terjadi karena serangkaian kesalahan yang terjadi dalam penentuan perencanaan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi yang dibuat dalam pengelolaan lingkungan Sungai Citarik. Indikasi lemahnya kebijakan dalam pengelolaan Sungai Citarik rendahnya kualitas lingkungan sungai, banjir, longsor tebing sungai, pencemaran limbah yang merajalela, erosi dan sedimentasi yang tidak terkendali. Akibatnya masyarakat kehilangan manfaat yang diberikan sungai baik secara ekonomi-sosial dan lingkungan.
Pada prisnsipnya manajemen pengelolaan SUB DAS Citaik dan Sungai Citarum telah dibekali perangkat peraturan yang lengkap muai dari peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, sampai dengan peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya. Berbagai peraturan ini menjadi payung hukum ini bagi pelaksanaan pengelolaan dalam berbagai segi dan bidang. Berdasar hal ini maka, buruknya kualitas SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum tidak disebabkan oleh suatu formulasi kebijakan yang buruk (bad policy).
Apabila formulasi kebijakan pengelolaan SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum sudah dirasa cukup bagus dalam mengantisipasi permasalahan yang ada, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kondisi dan kualitasnya sedemikian buruk. Telunjuk jari bagi permasalahan ini dapat diarahkan kepada bagaimana kebijakan yang diwujudkan dalam seperangkat peraturan yang sudah lengkap tersebut dilaksanaan (implementation) di lapangan. Buruknya implementasi kebijakan menyebabkan kualitas dan kondisi SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum secara umum sangat memprihatinkan. Hal ini terjadi karena : 
1.        Komunikasi. Faktor ini menyangkut bagaimana masing masing lembaga/ institusi yang mengatur SUB DAS Citarik dan Sungai Citarum secara umum, berbagi peran demi efektifitas. Kendala antar lembaga secara horisontal kadang terjadi (misal antara dinas dalam dalam satu daerah misal pertanian dan pariwisata atau industri) yang memunculkan ego sektoral dan politik kepentingan karena tidak adanya figur sentral yang menjadi panutan.
2.        Sumberdaya. Kualitas dan kuantitas sumber daya (manusia, sarana dan prasarana pendukung) juga menjadi kendala. Tidak seimbangnya luasnya lingkup tugas, beban dan tanggung jawab dengan sumber daya yang ada. Misalnya perbandingan jumlah personel pengelola dengan luas wilayah yang tidak seimbang.
3.        Disposisi. Permasalahan ini menyangkut sikap (attitude) terhadap pelaksanaan kebijakan dilapangan. Rendahnya komitmen untuk melaksanakan kebijakan dengan baik dari para pemangku kepentingan. Terkadang pelaksanaan kebijakan dibumbui adanya suatu kepentingan baik pribadi atau kelompok. 
4.        Struktur birokrasi. Bagaimana masing masing lembaga berkerja sama sesuai dengan kewenangannya. Terkadang tidak adanya koordinasi menjadi kendala baik antar lembaga secara vertikal maupun horisontal. Tumpang tindih kewenangan, program dan kegiatan kadang terjadi.


6.01.2016

Jejak Karbon Sebagai Indikator Tekanan Lingkungan



Salah satu bentuk tekanan lingkungan
Tekanan lingkungan (environment pressures) adalah suatu kondisi lingkungan yang menerima beban yang terlalu besar, yang disebabkan fisik, sosial, ekonomi,  akibatnya menimbulkan persoalan-persoalan lingkungan, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis (Setiawan, 1995). Kota (lingkungan) yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya (Supriatna, 2005). Tekanan lingkungan sangat berkaitan dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Menurut Sumarwoto (1989) daya dukung adalah kemampuan sebidang lahan untuk mendukung kehidupan. Dari konsep tersebut bahwa daya dukung berkenaan dengan kemampuan suatu lingkungan untuk mendukung kehidupan. Kedua pengertian tersebut sangat bersifat fisikalis, yaitu berkenaan dengan ukuran kemampuan lingkungan mendukung sejumlah populasi. Pemukiman sebagai suatu lingkungan, dengan manusia sebagai penghuni rumah dan berbagai kebutuhan yang melekat padanya. Oleh sebab itu daya dukung lingkungan tidak matematis sifatnya. Meskipun demikian lingkungan memiliki keterbatasan, jika pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan telah melewati batas kemampuannya, akan terjadi berbagai ketimpangan. Fenomena seperti ini menandai telah terjadinya tekanan lingkungan. Indikator terjadinya tekanan lingkungan adalah timbulnya perasaan tidak enak, tidak nyaman, kehilangan orientasi atau kehilangan keterikatan dengan suatu tempat tertentu. 
Salah satu indikator tekanan lingkungan adalah melalui perhitungan jejak karbon (Rotmans and De Vries, 1997; UNEP, 2012). Indikator tekanan lingkungan mengukur tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan manusia (antropogenik) yang di buang ke lingkungan. Akan tetapi sebagai indikator, jejak karbon  ini tidak menunjukan perubahan yang tejadi di lingkungan akibat adanya tekanan lingkungan. Secara sederhana jejak karbon hanya menunjukan seberapa besar emisi gas rumah kaca, tidak pada seberapa besar akibat (dampak) dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer seperti perubahan temperatur rata rata, penguapan, curah hujan ataupun kenaikan permukaan air laut.
Jejak karbon merupakan keseluruhan emisi gas rumah kaca yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung dari sebuah proses produksi, organisasi atau satu individu. Sebagai contoh jejak karbon untuk satu kali penerbangan dari London ke New York adalah  setara 0,68 ton CO2, atau jejak karbon rata rata penduduk inggris pada tahun 2006 adalah setara 653 juta ton CO2 (Carbon Trust, 2008). Jejak karbon terukur dinyatakan dalam CO2 equivalent/setara dan biasanya dalam satuan ton. Frasa ekivalen atau setara memberi arti bahwa jejak karbon ini terbentuk dari sejumlah gas rumah kaca yang berbeda, yang telah dikonversi dalam jumlah yang setara dengan CO dengan tujuan agar semua emisi tersebut dinyatakan dalam satu satuan tunggal. Protokol gas rumah kaca mensyaratkan paling tidak enam jenis gas rumah kaca yaitu : karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon dan sulfur heksaflrorida.
Sebagai sebuah indikator, jejak karbon tidak menunjukan resultan perubahan lingkungan atau dampak akhir dari perubahan lingkungan yang diakubatkan kegiatan manusia. Akan tetapi jejak karbon masih cukup berguna dalam mengukur tekanan yang diberikan manusia kepada lingkungan sehingga berperan penting bagi para pihak pembuat kebijakan lingkungan untuk mengantisipasi eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan memperhatikan daya dukung lingkungan. Perhatian terhadap strategi pengurangan jejak karbon sejalan dengan kebijakan untuk melakukan mitigasi penyebab terjadinya perubahan lingkungan serta dampak sosial dan ekologis yang mengikuti. Pengurangan jejak karbon sejalan dengan kebijakan mitigasi perubahan iklim. Dalam aspek lain, adaptasi perubahan iklim memerlukan suatu indikator tertentu lainnya.
Reference :
Ercin, A Ertug & Hoekstra, Arjen Y., 2012, Carbon and Water Footprints, Side Publication Series, UNESCO, Paris, Perancis
Internet via www.ecometrica.co.uk diakses agustus 2015
Kunjungi juga blog saya di www.maszoom.blogspot.com

Valuasi Ekonomi Hutan Magrove



Ilustrasi Valuasi Ekonomi
Valuasi ekonomi membantu mendorong aspek lingkungan untuk lebih diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan hutan mangrove. Melalui valuasi ekonomi, berbagai manfaat dari ekosistem hutan mangrove dapat diukur secara kuantitatif dalam satuan mata uang. Tanpa valuasi ekonomi, sangat sulit untuk mempertimbangkan suatu manfaat ketika sebuah kebijakan pengelolaan hutan mangrove akan dilakukan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa menjadi sangat penting untuk menempatkan nilai mata uang dalam kajian dampak lingkungan atau kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
Keberadaan hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem memberikan manfaat dan keuntungan bagi masyarakat disekitarnya. Keuntungan pertama dari kegiatan konservasi mangrove dapat ditinjau dari sisi aspek lingkungan. Dalam hal ini ekosistem mangrove akan menyediakan habibat bagi berbagai mahluk hidup, menjadi sumber nutrien dan pencegahan terhadap terjadinya sedimentasi. Ekosistem mangrove menjadi habitat bagi berbagai burung migran dan juga menjadi sumber bagi berbagai tanaman obat yang dipergunakan masyarakat sekitar. Kehadiran ekosistem mangrove akan mengurangi terjadinya abrasi pantai dan menjadi perlindungan terhadap terjadinya badai dan arus pasang surut.
Keuntungan ekosistem mangrove terhadap kesejahteraan manusia juga sangat beragam. Mangrove menyediakan aliran berbagai produk hutan mangrove baik berupa kayu maupun non kayu. Dalam bidang perikanan, kehadiran ekosistem mangrove akan menunjang perikanan berkelanjutan baik untuk ekosistem mangrove itu sendiri maupun kawasan perikanan disekitarnya. Mangrove menyediakan nutrien dan menyediakan tempat bertelur dan memijah bagi berbagai jenis ikan dan krustasea (udang-udangan). Ekosistem mangrove menjadi kawasan rekreasi termasuk didalamnya ekotourisme yang mengundang wisatawan untuk menikmati keindahan alam. Ekosistem mangrove menjadi penyaring terjadinya sedimentasi melalui rumput laut dan karang laut. Hutan megrove menjadi pelindung aquifer daratan (air tawar) terhadap terjadinya percampuran dengan air laut. Lebih dari itu hutan megrove menjadi cadangan lingkungan alamiah bagi masyarakat dan juga orang asing.
Kehadiran hutan mangrove juga sangat penting dalam menunjang kesehatan manusia. Mangrove menyediakan perlindungan terhadap badai lautan maupun gelombang pasang surut, menjadi semacam penyangga (buffer zone). Hutan mangrove menyediakan berbagai macam tanaman obat dan juga berbagai jenis sumber makanan (misalnya berbagai jenis sayuran dan ikan). Kehadiran hutan mangrove juga perhatian saat ini dalam hal keuntungan secara global. Hutan mangrove menjadi sumber cadangan/penyimpanan karbon, pemanfaatan dan transformasi hutan mangrove menjadi penggunaan lain akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Studi valuasi ekonomi telah membantu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang nilai suatu ekosistem. Beragam kegunaan dan manfaat dari suatu ekosistem yang walaupun telah disadari keberadaanya, akan tetapi dalam banyak kesempatan seakan tidak diperhitungkan. Lebih dari itu terkadang pegiat lingkungan, media, pemerintah, swasta dan masyarakat secara umum dalam banyak kesempatan memaknai hasil, nilai dan manfaat suatu ekosistem secara tidak tepat dan tanpa pandang bulu (Stefano, et al, 2004).
Valuasi ekonomi bukanlah sebuah kegiatan tunggal yang hanya berdasar pada satu pertanyaan “Seberapa berharga sebuah ekosistem?”. Pada kenyataanya valuasi ekonomi dapat di interpretasi dalam banyak cara. Ini dapat dimaknai sebagai usaha mempertanyakan seberapa besar nilai keuntungan yang mengalir pada saat ini, atau tentang nilai yang akan mengalir di masa yang akan datang. Pemaknaan juga bisa berarti bagaimana nilai usaha konservasi ekosistem tersebut dibandingkan dengan upaya konversi ekosistem menjadi penggunaan lain. Beberapa pertanyaan ini seakan terlihat mirip, tetapi dalam kenyataanya adalah merujuk kepada hal-hal yang sangat berbeda, dan jawaban dari satu pertanyaan tidak tepat untuk digunakan menjawab suatu pertanyaan yang lain. Contoh dalam hal ini adalah apakah mempertahankan hutan mangrove akan lebih bernilai secara ekonomi daripada mengkonversi hutan tersebut menjadi tambak.


Referensi : Hoang Tri, Nguyen. 2007, Economic Valuation of Mangrove Ecosystem, presented in the Tranning Coursce on Sustainable Management of Mangrove Ecosystem, UNEP/USM, Vietnam.