1.29.2011

Kebijakan Penyusunan Tata Ruang dan Pemukiman Harus Perhatikan Morfologi Sebaran Awan Panas dan Lahar Merapi

Dr. Langgeng Wahyu Santosa, M.Si., peneliti di Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana (KLMB) Fakultas Geografi UGM menegaskan pendekatan morfologi sebaran awan panas dan aliran lahar Gunung Merapi semestinya dijadikan sebagai dasar utama dalam kebijakan penyusunan tata ruang wilayah dan permukiman di kawasan rawan bahaya Gunung Merapi. Hal ini untuk mengantisipasi jatuhnya korban jiwa dan kerusakan akibat erupsi Merapi di masa yang akan datang.

“Seyogianya dalam menyusun kebijakan penataan ruang dan pemukiman memperhatikan morfologi sebaran awan panas dan lahar Merapi,” tegasnya, Rabu (26/1) dalam “Seminar on Knowledge Partnership” di Ruang Multimedia Kantor Pusat UGM.

Sejarah letusan Gunung Merapi sejak tahun 1911 hingga 2010, dikatakan Langgeng, menunjukkan pola sebaran awan panas dan lahar dingin yang relatif teratur dan berulang di sekitar morfologi kerucut dan lereng gunung api. Aliran lahar dingin letusan Gunung Merapi juga terlihat mengikuti aliran sungai-sungai yang relatif tetap.

Aktivitas yang terjadi di Merapi, lanjutnya, merupakan bagian dari proses geomorfologi, sehingga segala proses aliran lava, lahar dan awan panas yang terjadi merupakan rutinitas. Proses tersebut akan terus terjadi di masa datang dengan pengulangan waktu tertentu, walaupun dengan intensitas yang tidak selalu sama. “Secara teoritis proses tersebut akan terjadi dengan pola yang serupa, hanya saja intensitasnya tidak selalu sama. Begitu pun dengan jalan yang dilalui akan mengikuti pola yang sudah terbentuk sejak awal mula peristiwa erupsi Merapi,” paparnya

Selama sejarah erupsi Merapi, pola aliran lahan dan awan panas dominan ke arah barat, barat daya, dan selatan dengan jalur yang selalu melalui sungai Apu, Tlising, dan Senowo, yang masuk ke sungai Pabelan, Blongkeng. Selanjutnya sungai Batang dan Bedog yang masuk ke sungai Krasak, Boyong, Kuning, Gendol dan Woro.

“Aktivitas merapi yang relatif bersifat konsisten tersebut, tentunya bisa menjadi dasar kuat dalam perumusan kebijakan penanganan dampak awan panas dan lahar dingin di kawasan rawan bencana Merapi,” jelas staf pengajar di Fakultas Geografi ini.

Ditambahkan Langgeng, Sungai-sungai yang berhulu di kerucut dan mengalir sepanjang lereng bagian barat dan selatan Merapi merupakan daerah yang sangat berpotensi terkena ancaman bahaya banjir lahar dingin. Sungai Pabelan, sungai Putih, dan sungai Code merupakan tiga diantara sekian banyak sungai yang paling potensial terpapar banjir lahar dingin. “Melihat kenyataan tersebut, seyogianya sungai-sungai yang sekiranya potensial terpapar ancaman lahar dingin ditetapkan sebagai sungai ‘Awas’ terhadap erupsi Gunung Merapi,” harap pria kelahiran Klaten, 10 September 1972 ini.

Dalam merumuskan tindakan untuk penanganan ancaan banjir lahar dingin Merapi, menurut Langgeng juga perlu memperhatikan pola saluran dan morfometri alur sungai yang potensial terkena bahaya sekunder Merapi. Sifat aliran lahar dingin, kata Langgeng, berbeda dengan aliran air. Aliran lahar dingin bersifat pasif, dengan tali arus relatif berpola lurus sehingga sulit untuk mengikuti pola saluran sungai yang brekelok-kelok. Lahar dingin juga sulit untuk mengalir melalui sungai dengan morfometri lembah yang sempit dan curam.

Seperti diketahui sebagian besar sungai yang ada di lereng barat dan selatan Merapi memiliki pola alur yang berkelok-kelok, tidak sedikit yang memiliki kelokan tajam dengan sudut 90 derajat serta morfometri yang sempit dan curam salah satunya sungai Putih. Aspek morfometri alur sungai yang berkelok dengan lereng yang curam inilah yang menyebabkan luapan aliran lahar membanjiri Desa Jumoyo, Magelang.

Untuk melindungi kemungkinan luberan lahar dingin, disebutkan Langgeng, daerah yang pernah terpapar awan panas dan aliran lahar dingin sebaiknya dibuffer sejauh sekitar 500 meter dan ditetapkan sebagai ‘zona luberan’. Zona ini sebaiknya tidak diarahkan sebagai pemukiman baru, tetapi diarahkan sebagai padang savanna dengan fungsi daerah tangkapan hujan, dan pendukung fungsi peternakan. Sementara untuk mengantisipasi ancaman banjir lahar dingin, maka daerah sepanjang aliran sungai sebagai jalur banjir lahar dingin dibuffer sejauh kurang lebih 350 meter di bagian atas dan 100meter di bagian tengah dan bawah yang melalui perkotaan yang ditetapkan sebagai ‘zona bahaya sekunder’. “Area ini seyaogianya dilakukan pengaturan secara khusus berkaitan dengan pola pemanfaatan lahannya yang bisa berupa jalur hijau yang dibudidayakan secara terbatas. Hal ini mengingat area bantaran sungai banyak yang digunakan sebagai lahan pemukiman padat penduduk,” katanya. (Humas UGM/Ika)

Tidak ada komentar: