1.06.2012

Payakumbuh Menuju Kota Amnesia di Sumatera

Dalam sebuah makalah/buku/e-book yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, dinyatakan sebuah statement tentang “Kota Gila”. Sebuah kota akan berkembang menuju Kota Gila, apabila kota tersebut tumbuh berkembang dengan menghancurkan semua bangunan kuno bersejarah yang menjadi penanda eksistensi kota. Akibatnya memori warga kota akan romantisme masa lalu yang ditunjukan oleh bangunan bangunan tua terkubur dengan hadirnya bangunan fisik baru dengan bungkus modernisasi. Keadaan ini tak ubahnya manusia yang kehilangan ingatannya akan memori masa lalu alias amnesia bin gila.



Gelagat Payakumbuh menuju kota amnesia sudah terbaca dari arah perkembangan kota beberapa tahun terakhir. Beberapa monumen penting yang menjadi tonggak bagi berdirinya kota ini satu persatu lenyap ditelan modernisasi. Kita tidak lagi ingat gedung pertama yang yang menjadi saksi berdirinya Kota Payakumbuh di jalan Soetan Oesman. Beberapa tahun lalu Kantor Balai Kota Lama yang berada di Jalan Soedirman yang membawa banyak memori bagi warga kota sudah berubah wajah menjadi sebuah mall. Memori warga mengiang kepada kekuatan “people power” yang mampu menjatuhkan pemimpin yang durhaka laksana terjadi di Philipina. Hebatnya inilah “people power” pertama di Indonesia.

Geliat kamufase wajah kota ini tidak berhenti di sini. Urat nadi transportasi kota yang sempat diwarnai dengan sistem tansportasi massal yang cepat, aman dan nyaman yang menjadi utopia para perencana seperti kereta api kini tinggal kenangan. Jalan kereta api yang menjadi saksi kerakusan penjajah Belanda akan sumber daya alam telah lama terbengkalai dan terpinggirkan. Hebatnya lagi satu persatu aset yang ada lenyap tanpa meninggalkan jejak. Bangunan tersisa dari Stasiun Kereta Api yang bersejarah di Jl. Soekarno Hatta seperti tidak mendapat perhatian dari instansi terkait. Lahan-lahan ex emplacement yang dulu menjadi kandang kereta api pun telah berubah enjadi ruko-ruko yang berdiri angkuh. Anak muda sekarang mungkin tidak akan menyadari kalau kakek buyut mereka dulu punya romantisme naik kereta api dari Limbanang ke Payakumbuh dengan membawa berkarung-karung hasil alam seperti kopi, cengkeh, pala, kelapa.

Geliat kamuflase wajah kota masih terus akan berlanjut. Sebentar lagi Lapangan Kapten Tantawi (ada yang menyebut Lapangan Poliko) akan berubah menjadi hutan beton yang tak tersentuh masyarakat awam. Lapangan Poliko tidak akan lagi menjadi sebuah ruang terbuka bagi warga kota untuk sekedar berinteraksi, berolahraga dan bercengkerama (tidak termasuk bermesum ria tentunya). Tentunya kita masih terus akan menghitung tonggak tonggak tua kota mana lagi yang akan roboh? Ex kantor bupati lama, perumahan di kampung cina atau yang lainnya.

Menjadi sebuah ironi akan apa yang terjadi dihadapan kita dibandingkan dengan perkembangan di kota tetangga (i.e. Sawahlunto). Seakan bertolak belakang (kedepan dan ke belangkang) akan apa yang ada dan terjadi disana. Penghargaan akan aset aset tua seperti menjadi prioritas bagi warganya dan tentunya pemerintah setempat. Bukan karena akan ada pilkada atau even sejenisnya. Sekali kali pemimpin di Payakumbuh juga harus main ke kota lama di Semarang tentunya. Ah ... memang benar bak kata pepatah, rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau ... (*_*)


www.maszoom.blogspot.com dari kementerian PU dan beberapa sumber lain

Tidak ada komentar: