1.02.2012

Bunuh diri ekologis a la Payakumbuh, siapa mau? (part 2 of 2)

Tulisan terdahulu kita menyoroti perkembangan Kota Payakumbuh yang semakin menggeliat. Pengendalian perkembangan kota Payakumbuh sampai saat ini masih sangat sulit untuk dilakukan untuk diarahkan sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Di berbagai tempat terlihat adanya perubahan tata guna lahan, umumnya adalah perubahan dari lahan produktif (sawah, kebun) menjadi kawasan pemukinan atau tempat usaha. Minimnya ruang terbuka hijau yang ada di Kota Payakumbuh juga menjadi masalah tersendiri. Keadaan ini sangat membatasi masyarakat dalam beraktualisasi dari maupun sebagai sarana rekreasi.

Kegagalan pengendalian perkembangan kota sesuai dengan kaidah rencana tata ruang yang ada disebabkan karena berbagai masalah kompleks yang saling terkait. Hal yang paling menonjol untuk kita yang tinggal di Ranah Minang adalah superioritas pemilik lahan (property rigth) yang dalam hal ini bisa di wakili oleh tetua/kaum adat dibandingkan dengan pemerintah daerah (development rigth). Banyak kasus pembangunan yang diinisiasi pemerintah terkendala oleh pemilik lahan, bisa disebutkan diantaranya adalah pembangunan jalan lingkar payakumbuh maupun pembangunan RTH Batang Agam.

Kendala dalam kendali penggunaan tata ruang juga muncul karena kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan tata guna lahan karena tidak didukung oleh sistem data dan informasi yang up to date. Kendala ini masih nampak terlihat karena dalam kenyataannya dinas terkait (tata ruang) masih melakukan pengawasan perubahan tata ruang secara bottom up dengan mengandalkan instansi lain (kelurahan atau pengurus RT).

Laju perubahan tata guna lahan di Payakumbuh semakin terasa pada beberapa tahun terakhir. Kecenderungan perspektif umum masyarakat yang memandang nilai ekonomi jangka pendek lebih bernilai daripada fungsi kelestarian menjadi satu sumbu pemicu. Sebagai contoh pada sebuah lahan di kawasan strategis, sebuah ruko (rumah toko) akan lebih bernilai ekonomi daripada sebuah hamparan sawah. Selanjutnya tidak adanya koordinasi antar daerah juga menyebabkan antar daerah seperti saling menjegal untuk menjadi yang terdepan. Kemiripan geografi dan potensi sumber daya menyebabkan antar daerah saling bersaing sehingga hasilnya malah kontra produktif.

Keadaan sebagaimana tergambar diatas menjadi weakness yang patut disadari pemerintah daerah. Tanpa upaya yang serius dan nyata, Payakumbuh kedepan tak ubahnya apa yang dihadapi kota-kota urban diseluruh dunia – polusi, kemacetan, polusi visual, banjir, kemiskinan dan diambang bunuh diri ekologis secara massal. Payakumbuh kedepan harus bersiap diri menjadi kota urban yang kompetitif yang mampu bersaing dalam level kawasan maupun global (*_*).

www.maszoom.blogspot.com dari kementerian PU dan beberapa sumber lain

Tidak ada komentar: