10.01.2014

Dari Jakarta Menuju Seoul, Mencari Inspirasi Perubahan Perilaku Menuju Keseimbangan Emisi Gas Rumah Kaca

Ubah Perilaku (UNEP)


Kita yang hidup di era modern, dalam beberapa decade terakhir menjumpai sebuah perubahan iklim yang tidak biasa sebagai akibat pemanasan global. Kejadian, angin rebut, badai, kekeringan, suhu eksterm, banjir, longsor, gagal panen menjadi lebih sering terjadi. Gaung idiom pemanasan global menggema di seantero jagad, dari sunyi dan gersang Gurun Sahara di Afrika sampai dengan Alice Spring, sebuah kota kecil tepat di jantung Australia. Seluruh dunia telah sepakat bahwa gas rumah kaca merupakan tersangka utama seluruh kejadian yang ada.

Dampak pemanasan yang semakin dirasakan mendorong kita untuk merubah perilaku menuju keseimbangan emisi gas rumah kaca. Perubahan ini dimulai dari individu, komunitas, pemerintah setempat sampai dengan kebijakan nasional. Perubahan iklim yang terjadi memaksa kita melakukan adaptasi dan mitigasi demi keberlanjutan hidup ras manusia di muka bumi.

Dalam tataran kebijakan, keberhasilan dalam perubahan perilaku warga di beberapa kota di dunia dapat menjadi referensi dan layak untuk di duplikasi. Di mulai dari Curitiba, sebuah kota nan asri di belantara Amazone, Brasilia, lalu berlanjut ke Bogota Kolombia kemudian berlanjut ke Meksiko City, kota warisan suku maya. Selanjunya Jakarta, kota kebanggaan Indonesia, dan terakhir menuju Seoul, ibukota gaya hidup hiphop dan RnB Asia.

Peralihan kebijakan melalui penggunaan transportasi massal yang lebih ramah lingkungan telah menjadi tren bagi kota kota tersebut. Hebatnya pemerintah setempat mengintegrasikan dengan berbagai sector terkait sehingga menjadi lebih menarik bagi warganya.  Sebagai misal di Curitiba, kita bisa mendapatkan voucher bus gratis, hanya dengan mengelola, memilah atau barter sampah, laksana bank sampah di Indonesia. Terinspirasi sukses di Bogota Kolombia, Jakarta menerapkan transportasi massal yang lebih ramah lingkungan dengan  pembangunan koridor jalur bus massal cepat (busway) sepanjang hampir 13 kilometer. Dengan bonus jaminan efisiensi dan keamanan bagi pemakainya, diperkirakan kebijakan ini ikut berandil terhadap penurunan emisi sebesar 120.000 ton CO2e pertahun.

Dengan menggandeng perbankan setempat, kota Meksiko City di Amerika Utara menerapkan kebijakan pengelolaan moda transportasi kota yang lebih ramah lingkungan. Usaha yang dilakukan adalah dengan mengganti kendaraan umum berupa taksi dengan model baru yang lebih efisien bahan bakar. Diperkirakan ada lebih dari 103.000 taksi tua yang masih beroperasi di jalanan Meksiko City dan menyumbang 35% emisi dan pencemaran dari sektor transportasi di kota tersebut. Target awal dalam program tersebut adalah konversi 10.000 taksi dengan yang baru pada tahun 2012.
Dengan berbagai kesuksesan yang telah diraih, kota Seoul di Korea Selatan berusaha menunjukan kepada warganya bahwa ada banyak jalan dan cara untuk berkeliling kota selain dengan mobil pribadi. Demi meningkatkan kualitas udara, mengurangi pemakainan bahan bakar minyak dan penghematan energi, secara mingguan mereka menyelenggarakan minggu tanpa berkendara (car free week). Secara akumulasi, dalam satu tahun dua juta kendaraan tetap di garasi, dengan demikian mengurangi emisi sebesar10 persen setara 2 juta ton CO. Dengan pelaksanaan program secara mingguan, memungkinkan warga yang berminat mencari moda transport alternatif lain yang seusai dalam usaha menuju atau dari tempat kerja. Selanjutnya warga yang berpartisipasi akan mendapat insentif dalam bentuk diskon pembelian bahan bakar, kartu bebas parkir atau gratis pencucian kendaraan.
Selain menjadi lebih ramah terhadap emisi gas rumah kaca, perubahan perilaku tersebut juga menjadikan warganya lebih sehat dan menjadi penggerak roda perekonomian warga kota. Lebih dari itu, perubahan perilaku menjadi jalan bagi konservasi sumber daya alam dengan memaksimalkan kearifan, karakter dan potensi local yang ada.


(Kick the Habbits, UNEP, 2008)
 



Tidak ada komentar: