2.22.2013

Bisa apa kita dengan US$ 4 M per tahun?



Hampir 900 juta penduduk dunia mengalami kelaparan yang pada umumnya terjadi di negara-negara dunia ketiga. Pada saat yang sama lebih dari satu milyar manusia kelebihan makan yang berpengaruh pada berat badan dan kesehatan. Umumnya kejadian ini terjadi di negara-negara yang mengaku sudah maju. Dengan pola produksi dan konsumsi bahan pangan dunia seperti sekarang ini, produksi pangan dunia diperkirakan harus digenjot sampai dengan 60 persen pada tahun 2050.

Penanganan bahan pangan pasca panen yang lebih efektif dan efisien kemudian menjadi satu hal yang paling realistis untuk dikembangkan demi menjamin keteraturan suplai pangan dari ladang ke meja makan. Sebagai gambaran, pengelolaan panen yang buruk di negara-negara Afrika Sub-Sahara berpotensi  menyebabkan kehilangan bahan pangan senilai US$ 4 milyar  atau Rp 40 triliun pertahunnya. Angka tersebut sudah lebih dari cukup untuk memberi makan 48 juta penduduk SELAMA SETAHUN.

Bahan makanan yang hilang dan terbuang menjadi sampah mengakibatkan kita kehilangan kesempatan untuk memberi makan penduduk dunia yang sedang  tumbuh. Keadaan ini juga berimbas pada menurunnya kelestarian lingkungan, menurunnya kualitas lahan, terganggunya persediaan sumber air dan juga rusaknya potensi keanekaraman hayati. Terbentuknya gas metan dari makanan yang terbuang menjadi sampah juga berdampak besar terhadap perubahan iklim global.

Kehilangan pangan pada penangan pasca panen dan makanan yang terbuang menjadi sampah sepanjang jalur distribusi dan konsumsi mempunyai dua dampak negatif yang sama besar terhadap lingkungan : tekanan/eksploitasi terhadap sumber daya alam dan jasa ekosistem; dan timbulnya polusi dari sampah makanan yang dibuang.
 
Dalam konteks global, seiring meningkatnya tekanan terhadap sumber daya alam, saat  ini hampir sepertiga makanan yang dihasilkan atau sekitar 1,3 milyar ton pertahun terbuang percuma tanpa sempat termakan. Sebagian mungkin berasal dari dapur dan meja makan anda?

www.maszoom.blogspot.com adapted from FAO, Rome, Italy

Tidak ada komentar: